Kamis, 27 September 2007

Kaum Beragama Negeri Ini

Tuhan, lihatlah betapa kaum beragama negeri ini

mereka tak mau kalah dengan kaum beragama lain

di negeri-negeri lain,

demi mendapatkan ridha Mu

mereka rela mengorbankan saudara-saudara mereka

untuk berebut tempat terdekat di sisi Mu

mereka bahkan tega menyodok dan menikam

hamba-hamba Mu sendiri

demi memperoleh rahmat Mu

mereka memaafkan kesalahan

dan mendiamkan kemungkaran

bahkan mendukung kelaliman

untuk membuktikan keluhuran budi mereka

terhadap setanpun mereka tak pernah berburuk sangka


: Puisi Mustofa Bisri


Rabu, 26 September 2007

Budaya Suap Masih Sangat Parah

Berita yang menghiasi headline semua media massa Kamis, 27 September ini, sungguh ironis. Anggota Komisi Yudisial (KY) Irawady Joenoes ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KY).

Jabatan Irawady di KY bukanlah anggota biasa. Ia adalah Koordinator Bidang Pengawasan, Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim. Irawady tertangkap basah saat menerima suap dari Freddy Santoso, Direktur PT Persada Sembada, yang memenangi tender pengadaan tanah untuk kantor KY.

Ketika ditangkap di rumah salah satu kerabat Irawady di Jalan Panglima Polim III, Kebayoran Baru, Jakarta,.penyidik KPK menemukan uang Rp 600 juta dalam tas dan US$ 30 ribu di saku Irawady. Menurut Wakil Ketua KPK Bagian Penindakan Tumpak Hatorangan, KPK telah mengintai hubungan Irawady dan Freddy sejak dua bulan lalu.

Penangkapan Irawady ini menimbulkan ironi tersendiri. Pasalnya KY adalah lembaga yang mendapat mandat untuk mengawal reformasi peradilan. KY bertugas mengawasi dan memeriksa para hakim.

Masyarakat menaruh harapan banyak keberadaan KY bisa memberantas praktek mafia peradilan yang dilakukan para hakim. Apalagi KY sempat menunjukkan giginya dengan berani memeriksa para hakim agung. KY juga mengusulkan kocok ulang hakim agung yang berbuntut pada konflik dengan MA.

Dengan Irawady ditangkap KPK dengan tuduhan suap, citra KY tentu akan menjadi buruk. Terlebih Irawady adalah Koordinator Bidang Pengawasan, Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim.

Kepercayaan masyarakat bisa menurun gara-gara penangkapan tersebut. Bagaimana masyarakat bisa percaya KY bisa memberantas mafia peradilan bila Koordinator Bidang Pengawasan, Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim KY sendiri menerima suap?

Tapi di sisi lain, penangkapan Irawady juga membuktikan dan kembali menyadarkan bahwa budaya korupsi termasuk suap sudah sangat parah di negeri ini. Klaim Presiden SBY bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintahannya telah membuahkan hasil dengan timbulnya budaya takut korupsi di kalangan masyarakat, ternyata salah.

Penangkapan Irawady justru memperlihatkan sebaliknya. Bukannya ada budaya takut korupsi, sebaliknya korupsi dan suap justru merajalela. Suap tidak lagi hanya terjadi pada urusan-urusan remeh seperti untuk mempercepat pembuatan KTP atau SIM. Tapi sudah membudaya sampai level tertinggi yakni pengawasan para hakim.

Dengan kondisi seperti ini sudah sepatutnya disadari, tidak bisa membebankan tugas pemberantasan korupsi pada KPK semata. Tugas ini harus digarap secara bersama-sama dan menjadikannya sebagai gerakan budaya.

KPK tentu saja harus terus bersikap berani dan tegas memburu para korutor. Para lembaga yang terbukti pejabatnya melakukan korupsi seperti KY harus bersikap tegas dengan memberikan sanksi paling berat kepada pejabatnya. Dan tentu saja komitmen pemerintah menjadi hal mutlak.

Selain itu yang sangat perlu dilakukan adalah menyadarkan masyarakat bahwa korupsi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Masyarakat harus dibuat pada taraf sangat marah sehingga tidak ada lagi toleransi pada korupsi.

:detikportal, 27/09/2007 10:53

Apa Sih Yang Penting?

Kapan waktu terbaik untuk melakukan setiap hal? Siapa orang yang paling penting untuk diajak bekerjasama? Dan apa hal terpenting untuk dilakukan?

Leo Tolstoy menjawab:

Waktu terbaik adalah sekarang. Orang yang paling penting adalah orang yang saat ini bersama anda. Hal terpenting untuk dilakukan adalah membuatnya bahagia.

:
Buatlah orang di sekitar kita bahagia. Sekarang.

Jumat, 21 September 2007

Soeharto: Sindrom Capek Deh!

Kasus korupsi Soeharto kembali menjadi sorotan. Media massa selama berhari-hari menjadikan mantan presiden ini sebagai berita utama. Berita diawali dengan pengumuman PBB dan Bank Dunia yang menobatkan pria tua ini sebagai pemimpin negara yang paling korup di dunia.

Dalam versi PBB dan Bank Dunia, Soeharto yang belum pernah berhasil diadili di negaranya adalah orang yang paling banyak mencuri aset negara. Selama 32 tahun berkuasa, 1965-1997, ia telah menggondol aset negara sebesar US$ 15-35 miliar atau Rp 140-330 triliun.

Uang negara yang dicolong Soeharto jauh-jauh melebihi 9 kepala negara lainnya yang juga masuk dalam daftar pencuri aset negara yang dilansir PBB dan Bank Dunia.

Bandingkan dengan Ferdinan Marcos, mantan Presiden Filipina, yang berada di urutan kedua. Marcos dituding PBB mencuri aset negara US$ 5-10 miliar. Itu berarti hanya sekitar sepertiganya dari uang yang dituduhkan dicolong Soeharto.

Sementara Mobutu Sese Seko (Zaire) di nomor tiga, mengkorupsi US$ 5 miliar. Posisi selanjutnya, Sani Abacha (Nigeria) US$ 2-5 miliar. Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) US$ 1 miliar. Jean Claude Duvalier (Haiti) US$ 300-800 juta. Alberto Fujimori (Peru) US$ 600 juta. Pavio Lazarenko (Ukraina) US$ 114-200 juta. Arnold Aleman (Nikaragua) US$ 100 juta. Dan posisi 10 Joseph Estrada (Filipina) US$ 70-80 juta saja.

Pencantuman nama Soeharto sebagai presiden terkorup bisa jadi tidak lagi mengejutkan. Sudah lama warga negara ini sangat-sangat tahu, penguasa Orde Baru itu didakwa melakukan korupsi. Jumlah yang dikorupsi juga disadari sangatlah besar. (Bagaimana tidak besar, wong dia menjadi presiden selama 32 tahun dan bersikap diktator. Tidak ada satu pun waktu itu yang berani menentang Soeharto sampai ia dijatuhkan pada 1998).

Namun tindakan PBB menjadikan Soeharto buron nomor wahid dan membentuk prakarsa antikorupsi lewat Stolen Asset Recovery Innisiative (StAR) menerbitkan sebuah harapan, bahwa pada suatu hari nanti, kasus korupsi Soeharto akan bisa dibuktikan. Dengan demikian, Soeharto, keluarga dan kroninya bisa mendapatkan hukuman setimpal. Alias keadilan hukum berhasil ditegakkan.

Harapan itu tentu saja tidak berlebihan. Apalagi bila berkaca pada keberhasilan negara lain. Negara tetangga, Filipina, telah sukses menghukum mantan presidennya yang terbukti korup. Estrada diganjar hukuman seumur hidup oleh pengadilan Filipina. Padahal ia hanya berada di posisi 10 dalam list PBB.

Kemudian Nigeria juga berhasil membawa pulang uang yang dikorupsi mantan Presiden Abacha (almarhum) US$ 3 miliar dari total US$ 6 miliar.

Kalau Filipina dan Nigeria saja bisa berhasil, mengapa kita tidak? Begitu kan logika gampangnya. Namun baru saja harapan itu muncul, kekecewaan pun harus ditelan. Pasalnya, belum apa-apa, sejumlah lembaga yang kompeten kurang menyambut baik informasi PBB. Jaksa Agung Hendarman Supandji kurang tertarik dengan data tersebut. Tim Pemburu Koruptor menyatakan data PBB itu sumir.

Lagi-lagi kita seperti dihadapkan pada tembok. Kembali disadarkan pada kenyataan betapa sulitnya mengadili Soeharto. Telah 9 tahun sejak ia jatuh, ia tidak berhasil disentuh. Meski sering terlihat ‘baik-baik’ saja dan mampu meberikan kuasa pada pengacaranya, Soeharto tidak bisa diseret ke pengadilan. Koor kerusakan otak permanen selalu terdengar bila si kakek itu akan diadili.

Rakyat pun akhirnya mahfum, bosan dan sudah seperti tahu sama tahu, mengadili Soeharto hanya akan memunculkan sindrom capek deh. Berharap terlalu banyak namun ujungnya itu-itu saja. Gagal.

Padahal kalau mau obyektif, mengadili dan mengambil kembali uang yang dikorupsi Soeharto bukanlah hal sulit. Kasus Soeharto sebenarnya mirip dengan Abacha.

“Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat kepada orang yang justru tidak layak dihormati. Kamu melecehkan diri mu, kamu melecehkan kebijakanmu!” kata Mallam Nuhu Ribadu.

Ribadu yang adalah Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC), yang berhasil membawa pulang harta jarahan para koruptor asal Nigeria senilai miliaran dolar Amerika.

Menurut Ribadu, masalahnya hanya soal kemauan politik dan butuh orang yang berani. Dan dua hal inilah tampaknya tidak dimiliki Indonesia.

Presiden SBY memang memberikan tanda positif. Ia katanya akan bertemu dengan Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick di New York untuk minta penjelasan soal aset yang dicuri Soeharto.

Namun belum lama ini SBY dan Ibu Ani tampak sangat ramah dengan cucu Soeharto. Kepada Wiratama Hadi Prananto, putra tunggal pasangan Siti Hutami Adiningsih dan Pratikno Singgih yang terpilih menjadi anggota Paskibraka untuk upacara 17 Agustus lalu, SBY mengirimkan salam untuk Soeharto. Ingat, salam biasanya dikirimkan kepada orang dekat, orang yang disukai atau orang yang dihormati. Bukan rahasia lagi kalau SBY pernah menjadi ajudan Soeharto.

Dengan latar belakang seperti itu, kemauan politik dan keberanian SBY pun wajar-wajar saja jika diragukan. Apalagi bila setelah bertemu dengan Presiden Bank Dunia tidak ada perkembangan signifikan. Hal itu akan semakin menguatkan kasus Soeharto memang sengaja dipersulit, diperumit dan disusah-susahkan. Tujuannya jelas, agar kasus berlarut-larut dan tidak selesai-selesai. Capek deh!

Jumat, 14 September 2007

Antara Kematian dan Cinta

Kematian dan cinta, bisa jadi, sungguh begitu dekat. Penyair Sapardi Djoko Darmono menggabungkan dua hal itu dalam puisi-nya "Pada Suatu Hari Nanti". Dalam puisi itu, penyair menyadari kematian pasti akan datang dan tidak bisa terelakkan, tapi tidak diketahui kapan pastinya, hanya disebut "pada suatu hari nanti" . Sementara di sisi lain, ia telah jatuh cinta, dan tidak rela bila kematian itu menghilangkan sang cinta. Puisi itu seperti menggambarkan perangkap antara kematian dan cinta.

Selain puisi sapardi, ada sebuah lagu yang juga berkisah tentang kematian dan cinta. "Gloomy Sunday". Lagu itu berkisah tentang seseorang yang memiliki beban yang berat sehingga sangat ingin mengakiri hidupnya yang disebutnya tidak berarti, My heart and i Have decided to end it all. Kematian, bukanlah mimpi. Dalam kematian, ia akan mencumbu sang kekasih dengan nafasnya yang terakhir, dan ia akan memberkati sang kekasih.

Death is no dream
For in death Im caressin you
With the last breath of my soul
Ill be blessin you

Berikut puisi Pada Suatu Hari Nanti, Sapardi Djoko Darmono:

pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari



Berikut lirik Gloomy Sunday (Billie Holiday)

Sunday is gloomy,
My hours are slumberless
Dearest the shadows
I live with are numberless
Little white flowers
Will never awaken you
Not where the black coaches
Sorrow has taken you
Angels have no thoughts
Of ever returning you
Wouldnt they be angry
If I thought of joining you?

Gloomy sunday

Gloomy is sunday,
With shadows I spend it all
My heart and i
Have decided to end it all
Soon therell be candles
And prayers that are said I know
But let them not weep
Let them know that Im glad to go
Death is no dream
For in death Im caressin you
With the last breath of my soul
Ill be blessin you

Gloomy sunday

Dreaming, I was only dreaming
I wake and I find you asleep
In the deep of my heart here
Darling I hope
That my dream never haunted you
My heart is tellin you
How much I wanted you
Gloomy sunday

Kamis, 13 September 2007

Puasa Itu Jalan Sunyi

Puasa itu jalan sunyi
Tersedia makanan tapi tak dimakan
Tersedia kursi tapi tak diduduki
Tersedia tanah tapi tak dipagari

Puasa itu jalan sunyi
menggambar tapi tak terlihat
bernyanyi tapi tak terdengar
menangis tapi tak diperhatikan

Puasa itu jalan sunyi
menjadi tanpa eksistensi
pergi menuju kembali
hadir tapi tak dikenali.


mengutip puisi Emha Ainun Najib.

Selamat berpuasa!

Rabu, 12 September 2007

Gempa & Kesadaran Melawan Lupa

Gempa berkekuatan 7,9 skala Richter mengguncang Provinsi Bengkulu, Rabu, 12 September pada pukul 18.10 WIB. Akibat gempa itu puluhan gedung baik rumah, kantor pemerintah dan Rumah Sakit rusak berat. Menurut Departemen Sosial, hingga Kamis, 13 September, jumlah korban tewas tercatat 6 orang.

Setelah gempa yang terjadi pada Rabu sore itu, gempa susulan terus terjadi sambung menyambung. Hingga pukul 11.22 WIB, tercatat gempa yang menggoyang Pulau Sumatera berjumlah 31 kali. Jumlah itu terhitung selama 17 jam sejak gempa Bengkulu terjadi.

Menurut Kasubid Informasi Dini Gempa Bumi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Budi Waluyo, gempa-gempa dengan kekuatan cukup besar terjadi di Pulau Sumatera karena daerah Mentawai mengalami tegangan besar atau stress setelah gempa di Aceh dan Nias pada 2004.

Tegangan itu terjadi akibat tumbukan lempeng di Indo-Australia dan Eurasia. Nah, akibat stress itu, terjadinya gempa, baik yang berpotensi tsunami ataupun tidak, hanyalah soal menunggu waktu. Apalagi Indonesia adalah daerah yang memang rawan gempa.

Sayangnya kesadaran bahwa Indonesia adalah daerah rawan gempa ini belum banyak dipunyai oleh warga Indonesia.

Bila Milan Kundera menyatakan, perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Maka, bisa jadi soal gempa, bangsa ini adalah bangsa yang mudah lupa.

Memang kita masih ingat, gempa besar telah meluluhlantakkan Yogyakarta. Dan sebelumnya tsunami telah memporakporandakan Aceh. Namun ingatan itu hanya sebatas ingatan pada bencananya. Sementara untuk waspada akan datangnya kembali bencana, kita lupa. Begitu bencana berlalu, sering kita menganggap musibah pun hilang sudah. Kita abai bahwa bencana berpeluang besar untuk kembali datang.

Bisa saja kita berapologi, kita telah melakukan antisipasi. Misalnya, pascatsunami, BMG memasang enam sirene pendeteksi peringatan dini tsunami (Tsunami Warning system/TWS) di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Namun harus diketahui sejak dipasang, sirene itu belum pernah diujicobakan. Hingga akhirnya pada bulan April lalu sirine itu tiba-tiba bunyi padahal tidak ada tsunami. Alat itu tiba-tiba bunyi karena kerusakan pada software dan hardware sistem sirene. Itu terjadi karena alat itu kurang dirawat.

Selain lupa merawat, karena kurangnya pengetahuan, warga pun suka ceroboh. Contohnya, salah satu instrumen TEWS, yakni Buoy hampir hilang karena kabelnya diputus nelayan setempat. Alat seharga Rp 4,4 miliar itu dianggap mengganggu nelayan dalam mencari ikan.

Begitulah wajah bangsa kita. Sering kena bencana, tapi acapkali lalai untuk waspada.

detikcom, 13 September 2007

Orang Suci dan Epilepsi

Sekte itu bernama Opus Dei. Sebagian besar Katolik termasuk Vatikan mengutuk keras mereka. Tapi sekte dalam gereja Katolik itu bisa tumbuh bebas, bahkan bisa membangun kantor megah di tengah Kota New York.

Pemerintah ataupun aparat setempat membiarkan saja kantor pusat Opus Dei yang menghabiskan dana 47 juta dolar. Padahal sekte yang makin mendunia berkat novel
The Davinci Code karya Dan Brown itu dicurigai melakukan kegiatan cuci otak sampai penistaan jasmaniah.

Di sini, keyakinan dan kejahatan disamakan, sama-sama dibui. Begitulah gugatan Lia Eden setelah ditahan di Polda Metro Jaya. Di sini memang, penangkapan terhadap kelompok yang dianggap aneh hampir seperti menjadi tradisi, berulang dan terjadi lagi.

Sebelum Lia, penangkapan dilakukan terhadap ustad Yusman Roy yang mengajarkan salat dua bahasa. Kini yang terbaru penangkapan terhadap Sumardi (60). Pria lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN itu dianggap sesat karena masalah siulan.

Siulan yang lazim dilakukan kaum laki-laki memang jadi berbeda di tangan Sumardi. Ia tidak bersiul untuk mengusir ketakutan saat lewat kuburan. Tidak pula bersiul untuk menggoda perempuan cantik yang lewat.

Mengklaim mendapatkan wahyu, Sumardi mengajarkan siulan wajib diimbuhkan dalam salat. Kepada pengikutnya yang jumlahnya mencapai 60 orang, Sumardi mengajarkan pahala satu kali salat bersiul setara dengan ibadah 1.000 bulan.

Haruskah Sumardi cs yang dianggap nyeleneh ditahan? Memang, polisi kini mempunyai alasan yang lebih diplomatis untuk memenjarakan kelompok yang difatwakan sesat. Alasan keren itu kini untuk melindungi sang penyebar ajaran sesat dan pengikutnya dari amukan massa.

Tapi penangkapan itu tentu saja menyisakan pertanyaan. Apa perbuatan pidana yang mereka lakukan? Apakah keyakinan mereka yang berbeda bisa disamakan dengan
kejahatan? Apakah mereka merugikan, misalnya keimanan warga lain?

Indonesia memang bukan Amerika. Tapi harus diakui kemunculan seorang yang atau kelompok, yang memiliki pandangan aneh adalah sesuatu yang alamiah. Kelompok
ini akan selalu muncul dalam sebuah komunitas. Jadi mengadili keyakinan seseorang atau keimanan, adalah sebuah hal sia-sia.

Polisi sebenarnya tidak pantas meributkan apakah orang-orang yang mengaku menerima wahyu itu telah menodai agama atau tidak. Polisi hanya berhak atau bahkan diwajibkan menangkap sang penyebar ajaran aneh, jika mereka mengajak orang melanggar hukum, membahayakan nyawa ataupun keselamatan seseorang. Tapi polisi jelas tidak memiliki urusan untuk menyelidiki kebenaran sebuah keimanan.

Lebih dari itu, orang-orang aneh seperti itu, sebenarnya lebih baik didekati, diajak dialog, atau diajak bertukar pikiran. Siapa tahu orang-orang yang mengaku suci itu sebenarnya hanya orang yang sakit. Karena penderita epilepsi temporer atau epilepsy temporal lobe, menurut Donal B. Calne, adalah orang yang mengalami halusinasi penciuman, penglihatan dan pendengaran.

Halusinasi menyebabkan penderita epilepsi temporer sering mendengar suara-suara yang tak didengar orang lain juga melihat penampakan-penampakan yang hanya dilihatnya sendiri. Dalam buku Batas Nalar, Calne yang adalah profesor neurologi The University of British Colombia itu, menuliskan, seorang penderita epilepsi mengaku melihat pintu surga terbuka dan mendengar Tuhan bersabda.

Tokoh yang secara jujur mengaku menderita epilepsi temporer adalah Karen Amstrong. Dalam buku Menerobos Kegelapan, penulis yang kesohor dengan buku Sejarah Tuhan dan Muhammad itu diketahui menderita epilepsi pada usi 31.

Selain Amstrong, tokoh terkenal yang digolongkan menderita epilepsi tersebut adalah Van Gogh dan Julius Caesar. Bahkan Santa Yoana atau yang dikenal dengan Joan d'Arch juga diduga pengindap penyakit tersebut.

Dr Wolfe, dokter yang memeriksa Amstrong mengatakan, penderita epilepsi temporal lobe adalah orang yang religius. Nah siapa tahu penyakit epilepsi temporer itu juga menyerang para pengklaim penerima wahyu itu. Siapa tahu kan?

* Tulisan ini dimuat di detikcom 18 Januari 2006

Senin, 10 September 2007

HL dan Lembur

Hari ini alamat aku harus lembur lagi. Sidang Isbat, Selasa (11/9/2007) baru dimulai pukul 17.00 WIB. Itu artinya berita soal awal puasa baru akan ada malaman, sekitar pukul 18.00 WIB. So, aku harus menunggunya karena berita itu pasti akan jadi HL di media massa. Nggak lucu dong, kalau detik ketinggalan HL-nya? hehehhe. Begitulah risiko jadi penjaga gawang HL.

Menunggu berita calon HL bukan hal yang baru bagi aku sebenarnya. Sebelumnya aku juga menunggu SBY akan konpres soal Raisyah Ali yang diculik, Kamis 23 Agustus. Begitu pula saat nunggu berita Putin bertemu SBY, Kamis 6 September.

Capai juga sih! Tapi cukup senang bila berita yang aku tunggu2 dan kuprediksi akan jadi HL itu ternyata memang benar2 jadi HL media massa.