Rabu, 27 Februari 2008

Kepemimpinan 'Partnership' Suami

oleh: Zaim Uchrowi

Selama juli kemarin, saya dan anak-anak empat kali ditinggal istri. Mula-mula ia pergi ke Singapura. dua hari disana. Senin berikutnya, ia terbang ke Kamboja dan baru pulang Jum'at malam. Seninnya lagi, ia berangkat ke Srilangka.lagi-lagi pulang jumat. Dua hari kemudian ahad, ia terbang ke San Fransisco, hingga ahad berikutnya.

Situasi itu tak lazim bagi kebanyakan keluarga kita. Bagi keluarga saya yang demikian itu sudah semakin menjadi biasa. Ira istri saya, belakangan ini semakin sering pergi. Dalam sebulan, rata-rata ia tiga kali keluar negeri. terutama sejak ia ditunjuk sebagai manajer Divisi Vendor Compliance untuk wilaya Asia Tenggara.

Tahun lalu Ira hanya menangani 80 pabrik di Indonesia. mulai dari Medan, Batam-Bintan hingga Pasuruan. Dengan pekerjaaanya itu, Ira harus memastikan bahwa 80.000 buruh yang bekerja untuk pabrik-pabrik suplier perusahaanya-sebuah industri garmen Amerika dan kini terbesar sedunia-mendapat perlakuan secara memadai. Setidaknya agar mereka tidak diperas pabrik, mendapat haknya secara wajar, mendapat lingkungan kerja yang memadai untuk ukuran industri, serta keselamatan kerjanya pun terjamin.

Tahun ini jangkauan Ira diperluas. Kini ia harus bertanggung jawab atas kondisi pekerja sekitar 350 pabrik di Asia Tenggara. Indonesia tentu saja Singapura, Malaysia Kambojadan Brunei. Ia harus memonitor secara detil iklim kerja diseluruh pabrik tersebut, sekaligus mempelajari undang-undang tentang ketenagakerjaan setiap negara. Ia harus berdebat dan 'menaklukan' para pengusaha yang nakal, sekaligus meyakinkan kawannya dari divisi lain yang berkepentingan menjalin bisnis dengan pengusaha tersebut. Hampir semua mereka beretnis Tionghoa dari berbagai negara. Tak satupun Melayu.

Saya Insya Allah, tidak terganggu sama sekali dengan kesibukan Ira yang sangat padat tersebut. Setidaknya sejak saya memutuskan untuk memperistri Ira, 1987 lalu. Sedari kecil ia bukan sosok yang "baik-baik" tinggal di rumah. Mungkin karena kehilangan figur ayahnya yang meninggal , ia mencari lewat berbagai kegiatan. Drama di waktu SD, pramuka dan kegiatan Masjid di waktu SMP, serta Osis (ia salah seorang ketua) di SMU.

Saat menikah, ia baru kuliah tingkat satu. Saya harus hijrah kembali ke Jakarta (dari Surabaya) sedangkan ia berada di Malang, sambil harus membesarkan anak seorang diri. Ira dapat menyelesaikan kuliahnya tepat waktu di Universitas Brawijaya bahkan menjadi salah satu lulusan terbaik di fakultasnya.

Kemudian, tujuh tahun digerakan konsumen memberinya akses yang luas pada jaringan Internasional. Para aktifis gerakana yang mempromosikan ASI-dan menentang penggunaan susu formula bagi bayi-dunia terutama dari kalangan IBFAN (International Baby Food Action Network) mengenalnya dengan baik. Desember lalu ia bahkan diminta oleh IBFAN untuk mewakili Asia-kemudian bahkan Dunia-untuk menerima penghargaan Right Liverhood Award yang di Swedia diisitilahkan sebagai "Nobel Alternatif".

Ira di usianya kini 31 tahun-berpidato di depan parlemen Swedia. Lengkap dengan jilbabnya pula. Esoknya, fotonya pun muncul dibeberapa surat kabar setempat. Juli, di tahun yang sama Ira juga memberi pidato puncak pada sekitar 500-an manajer perusahaanya dari seluruh dunia di San Fransisco. "Dari sepuluh ribu karyawan di seluruh dunia, kurang dari sepuluh yang
muslim. Itu pun hanya saya yang berjilab", katanya.

Ia terpilih untuk mewakili sebagai Vendor Compliance Officer terbaik di seluruh dunia. Haruskan saya, sebagai pimpinan rumah tangga, membunuh seluruh potensi itu dengan memaksanya untuk tinggal di rumah? sedangkan ia terbukti mampu berbuat banyak untuk masyarakat, menyelamatkan banyak generasi mendatang dengan mempromosikan ASI, memperjuangkan nasib puluhan ribu buruh pabrik (termasuk memperjuangkan hak buruh-buruh etnis Champa untuk memperoleh Mushalla di Kamboja), juga menjadi "PR Islam" untuk lingkungannya, yakni bahwa seorang muslim, baik laki-laki atau perempuan dapat menjadi seorang yang terbaik, intelektualitas maupun profesionalitas.

Apakah dengan begitu kepemimpinan saya sebagai suami goyah?. Apakah saya tak mampu menghidupi keluarga saya bila Ira menghentikan kariernya? Insya Allah tidak. Saya tidak menyoal sama sekali ayat populer "Arrijalu qowwamuna' alannisa," meskipun banyak tafsir yang berkembang soal ayat itu.Saya bertanggung jawab sepenuhnya terhadap 'arah dan 'warna' keluarga saya. Hanya barangkali pola kepemimpinan saya sedikit berbeda dengan pola kepemimpinan kebanyakan suami.

Sampai sekarang pun, jika mau saya dapat menggunakan otoritas saya sebagai pemimpin keluarga tanpa Ira dapat menolaknya. Tapi saya merasa , cara kepemimpinan demikian tidaklah benar. Di masa sekarang, apalagi mendatang, gaya kepemimpinan 'partnership' lebih sesuai dibandingkan dengan gaya kepemimpinan 'otortier' (maaf sebenarnya ini bukan istilah yang
tepat), dalam keluarga sekali pun. Dalam gaya kepemimpinan ini, yang menjadi kunci bukan lagi dominasi sikap, pemikiran ataupun tindakan suami. Baik itu disampaikan secara tegas, maupun dengan sangat halus dan lembut. Dalam kepemimpinan 'prtnership' yang lebih diperlukan adalah diskusi, dialog untuk mendapatkan format yang terbaik dalam keluarga. Dialog tersebut harus terus dikembangkan karena setiap hari kita menghadapi situasi baru. Indikator sederhana tingkat dialog tersebut adalah seberapa sering suami istri mendiskusikan situasi, keadaan, pola, hingga posisi yang dikuasai masing-masing dalam berhubungan intim.

Dengan pola kepemimpinan ini, pemimpin tidak menempatkan diri untuk "menggurui" atau mendikte. Walaupun dilakukan secara halus. Pemimpin perlu menempatkan diri sebagai moderator yang cerdas, yang mampu mengeksplorasi seluruh gagasan dan pikiran anggota keluarga, lalu membuat sintesa yang paling baik dan diterima semua pihak. Acapkali suami 'takut' untuk berdiskusi. Banyak suami tidak siap bila sang istri mengambil peran yang cukup besar di rumah tangga dan merasa "kehilangan harga diri". seolah tugas suami selalu mencari nafkah, sedangkan adalah tugas istri adalah menangani seluruh tugas domestik atau pekerjaan rumah tangga.padahal cukup banyak variasi yang dimungkinkan dalam pola hubungan suami-istri. Semuanya tergantung dari karakter masing-masing pihak.

Pola hubungan Muhammad-Khadijah sangat berbeda dengan pola hubungan Muhammad-Aisyah. Karakter keluarga saya, kebetulan lebih dekat dengan pola pertama dibanding kedua. Tanpa banyak diskusi, saya khawatir, kebahagiaan keluarga yang diidamkan hanya akan dicapai secara semu. Perempuan dan anak-anak akan cenderung menajdi 'korban'. Acapkali istri terpaksa menerima 'kodrat-nya', mengubur dalam-dalam potensinya untuk dapat berperan langsung dalam masyarakat, sepenuhnya menjadi 'mahluk domestik', sekedar menjalankan fungsi reproduksi (yang tidak mungkin tak merasakan kenikmatannya sebagaimana yang dirasakan sang suami), serta kehilangan identitas dirinya karena ia telah menjadi "ummu....atau umminya..."

Saya bukan penganjur wanita untuk berkarier dan saya juga bukan saya juga bukan penganjur wanita untuk dirumah saja...setiap orang punya kecenderungan masing-masing. Biarkan kecenderungan itu tumbuh tanpa dipatahkan . Tinggal bagaimana mengelolanya secar baik, sesuai dengan keadaan masing-masing. Khadijah adalah insvestor bisnis perdagangan antar bangsa pada zamannya. Barangkali sekelas George Soros atau Rupert Murdoch sekarang. Sedangkan Aisyah mewarnai rumah tangga dengan kemanjaannya. Muhammad saw tidak memukul rata mereka untuk menjadi seragam: istri adalah penunggu dan pekerja domestik bagi suami dan anak-anak.

Bagi suami dengan pola kepemimpinan 'partnership' istri di rumah atau berkarier sama baik. asalkan pilihan itu sudah dipertimbangkan secara cermatdan benar-benar menjadi pilihan hati sang istri. Pemaksaan apakah untuk tinggal di rumah atau untuk bekerja, pada dasarnya mengingkari prinsip islam agar setiap umatnya kritis, berhati tulus dan berfikir merdeka hanya dengan mengilahkan-Nya. Sayang banyak suami yang lebih banyak mengikuti naluri primitifnya male chauvinistic ketimbang menengok teladan Muhammad terutama dalam berkeluarga denagn ummul mukminin, Khadijah) meskipun sambil mengutip hadits.

Bisa saja pendapat saya ini keliru karena keterbatasan ilmu agama saya. tapi saya berdoa, mudah-mudahan Allah memberi jalan yang baik bagi keluarga saya. jalan baik itu , Insya Allah hanya akan diberikan bila suami istri saling respek. Secara lahiriah , itu kami wujudkan setiap habis sholat berjama'ah. Ira selalu mencium tangan saya dan saya ganti mencium tangan Ira. Saya akan memijat kaki Ira, bila ia capek. ia pun akan memijat kaki saya bila saya capek. bagi saya Ira bukan hanya istri, ia juga sahabat terbaik saya.


Sabtu, 23 Februari 2008

Hantu Makan di Malaysia

Setelah berputar-putar mengunjungi sejumlah obyek wisata di Langkawi, Malaysia, akhirnya kami mampir di sebuah restoran di pinggir jalan. Namanya restoran Nelayan, berdiri di Jalan Bukit Malut, Langkawi.

Meski namanya restoran, jangan bayangkan tempat itu merupakan sebuah restoran besar nan mewah seperti umumnya restoran di Jakarta. Tampilan restoran Nelayan hampir mirip sebuah warung Tegal (warteg) atau kafe tenda di pinggiran jalan di Jakarta.

Namun bedanya, jika warteg dan kafe tenda Jakarta, bising oleh lalu lalang lalu lintas dan asap kendaraan bermotor, Restoran Nelayan sungguh berbeda. Udaranya sejuk, sebab ada sebuah hutan kecil di samping restoran. Sambil makan, pengunjung pun bisa melihat sejumlah kera bermain-main di ranting pohon.

Menu yang disajikan di restoran ini, sesuai namanya, adalah masakan seafood, aneka ikan, cumi-cumi dan lalapan. Pengunjung bisa memilih sendiri menu yang akan dimasak. Kami meminta ikan untuk dibakar, sementara cumi-cumi digoreng.

Saat disajikan, aroma ikan bakar sungguh menggoda. Lalapan dari daun jambu mede, timun dan selada sudah kami siapkan di meja. Dan tidak lupa sambalnya, yang wow pedasnya sungguh berasa.Kami, empat wartawan dari Indonesia dan dua peneliti ISIS Malaysia, Ibu Wan Portia Hamzah dan Ibu Zainab dengan bersemangat langsung menyantap hidangan tersebut. Makan di restoran Nelayan seolah menebus keluhan kami yang belum menemukan makanan yang 'nendang' selama empat hari berada di Kuala Lumpur.

Di Malaysia, Restoran Nelayan, meski kecil dan sederhana, cukup di kenal namanya. Sejumlah menteri Malaysia yang datang ke Langkawi, banyak yang sudah mencicipi makanan olahan Bapak Abdul Rasyid Hasyim ini.

Soal rasa, menurut saya sih, hampir sama dengan masakan seafood yang tersebar di sejumlah pinggir jalan di Jakarta. Tapi tempatnya yang sungguh berbeda dengan pemandangan alami hutan lengkap dengan kera-kera berlompatan, sungguh menimbulkan atmosfir yang berbeda . Maka jangan heran jika di Restoran Nelayan, kami pun jadi "hantu makan". Ini sebutan orang Malaysia untuk seseorang yang sangat suka makan.

Selasa, 19 Februari 2008

Polisi Malaysia


Ibu Suzanna Masmir, Wakil Kepala Polisi Diraja Malaysia Dato Ismail Haji Omar dan aku di Markas Besar Polisi Malaysia.

Polisi Malaysia digaji besar. Mereka juga diwajibkan memakai pin bertuliskan "Saya Anti Rasuah". Rasuah artinya korupsi.

Tapi beberapa orang di Malaysia memplesetkan "Saya Anti Rasuah" dengan "Saya Nanti Rasuah".

Korupsi tetap banyak dilakukan oleh polisi Malaysia. Menurut salah seorang aktivis TKI, TKI biasanya menyuap polisi Malaysia dengan menyatakan, ini uang untuk minum.

Perempuan Malaysia

Aku dan Dirjen Kementerian Pembangunan, Keluarga dan Masyarakat Malaysia. Perempuan Malaysia juga membenci poligami. "Di dunia bagian mana pun tidak ada perempuan yang mau dipoligami," kata Menteri Perempuan Malaysia Shahrizat.