Kamis, 15 Mei 2008

sajak kecil tentang cinta

mencintai angin harus menjadi siut


mencintai air harus menjadi ricik

mencintai gunung harus menjadi terjal

mencintai api harus menjadi jilat

mencintai cakrawala harus menebas jarak

mencintaiMu harus menjadi aku


: puisi Sapardi Djoko Damono

Senin, 05 Mei 2008

Mimpi Ani SBY & Mimpi Kita Sama?

Ibu Negara Ani Yudhoyono mempunyai mimpi yang sungguh mulia. "Mimpi saya Indonesia sejahtera," kata Ibu Ani. Jeng Jeni teringat mimpi ibu negara saat ia bergelantungan di bus kota. Perempuan yang setiap hari naik bus kota itu tersenyum senang. Ia membayangkan, jika Indonesia sejahtera, ia tidak perlu lagi berdesak-desakan di buskota.

Tapi bisakah Indonesia menjadi negara sejahtera? Pikir Jeng Jeni. Maka sepanjang perjalanan ke kantor sambil bergelantungan, Jeng Jeni sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia lalu ingat sejumlah prediksi penuh optimisme tentang masa depan Indonesia. Ada prediksi Kepala Unit Makroekonomi PricewaterhouseCoopers (PWC) John Hawksworth, Goldman Sach Economic Research juga visi Indonesia 2030.

Hawksworth memprediksikan Indonesia akan menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Tapi
waktunya masih lama, yakni pada 2050. Menurut Hawkswort, pada 2050 itu perekonomian Indonesia akan menjadi perekonomian keenam terbesar dunia setelah Amerika Serikat (AS), Cina, India, Jepang, dan Brasil.

Lalu Goldman Sachs Economic Research memasukkan Indonesia dalam kelompok N-11 atau 11 negara berkembang yang diperkirakan akan segera menyusul empat negara BRIC (Brasil, China, India, dan China). Kemudian juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada tahun lalu menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia bisa masuk dalam jajaran ekonomi lima besar dunia mulai 2030.

Perempuan yang bekerja di sebuah toko buku itu lantas mengkalkulasi modal yang dimiliki
Indonesia untuk menjadi negara kaya. Indonesia, negeri yang saya cintai ini, pikir Jeng Jeni, memiliki potensi kekayaan alam yang demikian besarnya. Indonesia merupakan penghasil bahan tambang terbesar dunia.

Menurut data PwC, yang sempat dibaca Jeng Jeni di internet, Indonesia merupakan penghasil timah nomor satu di dunia. Penghasil batu bara nomor tiga di dunia. Penghasil tembaga nomor empat di dunia. Penghasil 80% minyak di Asia Tenggara dan penghasil 35 % gas alam cair di dunia. Selain kekayaan alam, Indonesia dilimpahi jumlah penduduk yang besar yakni menempati urutan keempat dunia, setelah China, India, dan AS.

Jadi Indonesia sebenarnya mempunyai modal besar untuk menjadi negara sejahtera dan kaya
raya. Kalau disertai usaha keras dari semua elemem bangsa, dari kawula alit sampai penguasa, semua bersatu padu, satu visi, satu tujuan, bersikap jujur, lurus dan profesional mewujudkan Indonesia sejahtera, pasti prediksi itu akan menjadi nyata.

"Prediksi itu pasti bukan sekadar mimpi indah, tapi takdir bagi Indonesia," batin Jeng Jeni yakin. Maklum, setelah membaca The Alchemist karya Paulo Coelho, Jeng Jeni menjadi sangat percaya akan takdir. Novel itu menginspirasi Jeng Jeni untuk menemukan takdirnya.

Takdir akan terwujud bila seseorang mempercayai mimpinya dan tidak pernah berhenti mengejarnya. "Janganlah berhenti bermimpi. Kalau kau menginginkan sesuatu, seisi jagat raya akan bekerjasama membantumu memperolehnya." Itulah salah satu kalimat indah di Alchemist yang menjadi favorit Jeng Jeni.

"Kamu terlalu banyak baca fiksi Jeng. Bacalah buku-buku teori ekonomi, manajemen, politik
dan sejarah. Kamu akan tahu tidaklah gampang untuk mewujudkan kesejahteraan suatu bangsa.
Butuh waktu panjang. Rasionallah! Ini dunia nyata bukan fiksi," Jeng Jeniterngiang-ngiang omongan Mas Hari, suaminyaPadahal saat ini Jeng Jeni sedang tidak bersama Mas Dosen itu. "Ya aku tahu. Tapi mimpi, apalagi mimpi yang baik, itu penting karena akan selalu menerbitkan harapan dan menjaga orang untuk tidak berputus asa." sergah Jeng Jeni kesal dengan suara-suara sang suami yang terus mendatanginya.

"Bangunlah Jeng. Jangan mimpi terus. Lihat realitas. Kamu bilang jumlah penduduk yang besar menjadi modal. Tidak tahukah kamu, pada tahun 2000, sebanyak 70 % penduduk Indonesia hanya lulus SD? Dengan kondisi seperti itu, penduduk bukanlah modal tapi justru menjadi beban," kata Mas Hari.

"Lalu tidak tahukah kamu, kendati kaya sumber alam, Indonesia merupakan salah satu negara terbesar tingkat korupsinya. Negaramu ini, menurut Transparency International, menempati urutan nomor 6 terkorup di dunia," ujar Mas Dosen.

"Kemudian kamu menghayal pemerintah, DPR, rakyat dan semua elemen bangsa mau bersatu padu dan bersama-sama mewujudkan Indonesia sejahtera? Ha haha ha , yang benar saja! Yang ada hanya mereka cakar-cakaran sendiri. Lah kok bisa Indonesia masuk menjadi negara terkaya dunia? Iya jadi negara kaya, yang kaya pejabatnya saja," suara sinis Mas Hari terngiang lagi.

Jeng Jeni kesal, kemanapun dia pergi suara sang suami selalu mengikutinya. Ya apa boleh buat, sang suami sudah menjadi separuh nafas Jeng Jeni. Dan sayangnya, bukan optimisme, tapi omongan sinis dan pesimisme sang suami yang sering terngiang-ngiang. Jeng Jeni tahu ia harus berpijak pada realitas dan bersikap rasional. Tapi ia tidak ingin sikap rasional justru membunuh optimismenya.

"Sudahlah Mas, diam sebentar. Suatu hari nanti negeri ini pasti akan berubah. Akan tiba waktunya seorang pemimpin yang tegas dan cerdas memimpin negeri ini, tidak akan ada lagi korupsi, dan semua rakyat dan pejabat seia sekata bekerjasama untuk kepentingan bangsa. Jadi biarkan saja aku tetap optimis. Optimisme itu membuat hidup lebih bersemangat dan indah." batin Jeng Jeni. Kali ini Jeng Jeni yakin, ia tidak salah.

Setelah nyaris mau pingsan bergelantungan di bus kota, Jeng Jeni akhirnya mendapatkan kursi yang kosong. Ia segera duduk. Tak lama kemudian perempuan itu bermimpi. Dalam mimpi itu, Jeng Jeni mau menangis ketika akan membeli susu, minyak goreng dan beras. Jeng Jeni tidak mampu lagi membeli kebutuhan pokok itu karena harganya yang melambung sangat tinggi. Jeng Jeni buru-buru terbangun. "Sialan! Ini mah kenyataan," rungut Jeng Jeni kesal.