Kamis, 31 Juli 2008

Ayu Utami: Saya Tak Pernah Nulis Buku untuk Laris

Justina Ayu Utami. Perempuan ini rupanya sedang ditunggu-tunggu. Siang itu, puluhan orang datang khusus untuk bertemu dengannya dan meminta tanda tangan penulis novel fenomenal 'Saman' tersebut.

Ayu, siang itu hadir di Pameran Buku Ikapi, Istora, Senayan, dalam acara jumpa pengarang. Acara itu terkait dengan peluncuran novel teranyar Ayu, 'Bilangan Fu'. Ini merupakan novel ketiga perempuan yang memenangkan sayembara menulis roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 tersebut, setelah novelnya 'Larung' yang terbit tujuh tahun lalu.

Maka siang itu, tidak heran jika penggemar perempuan langsing ini berdatangan. Dalam hitungan tidak ada satu jam, Bilangan Fu pun laku 70 eksemplar lebih.

Bilangan Fu berkisah tentang cinta segitiga antara dua laki-laki pemanjat dinding beranama Yudha dan Parangjati dengan seorang perempuan bernama Marja.

Lewat "Bilangan Fu", Ayu mengangkat tema yang disebutnya sebagai 'spiritualisme kritis'. Ini merupakan keprihatinan Ayu atas banyaknya sikap intoleran dan beragama secara formalitis setelah reformasi.

Di sela-sela melayani permintaan tanda tangan dan foto bersama dengan penggemarnya, Ayu membeberkan proses penulisan Bilangan Fu. Seperti apa? Lalu apa maksud Ayu mengaku tidak ingin menyenangkan orang? Berikut petikan wawancara Iin Yumiyanti dari detikcom dengan Ayu Utami:

Bisa anda ceritakan proses pembuatan novel Bilangan Fu. Idenya dari mana?

Prosesnya agak panjang. Idenya? Saya punya pacar, namanya Erik Prasetya. Ia dulu seorang pemanjat tebing. Tapi ia berhenti memanjat karena sahabatnya meninggal dunia. Teman pacar saya ini namanya Sandy Febijanto. Ia salah satu dari pemanjat tebing terbaik Indonesia.

Pengalaman ini (kematian Sandy) mungkin membuat trauma atau sedih yang terlalu berat sehingga pacar saya lantas meninggalkan dunia panjat tebing. Ia tidak mau lagi ke Bandung untuk latihan ataupun melihat tebing-tebing.

Tapi ia selalu bercerita masalah ini kepada saya. Saya sampai pada titik sudah penuh dengan ceritanya. Akhirnya saya putuskan, oke saya akan menulis novel dengan tokoh pemanjat tebing.

Apa yang ingin anda sampaikan lewat Bilangan Fu?

Begini, kalau Saman, keprihatinan saya itu kan kerasnya represi pada masa Orde Baru. Bilangan Fu ini keprihatinan saya setelah reformasi. Saya melihat setelah reformasi , marak sikap intoleran dan cara beragama yang terlalu formalistis.

Bilangan Fu bercerita tentang cinta antara dua pemanjat tebing dengan seorang perempuan. Nah saya ingin memadukan kedua hal ini, kisah cinta pemanjat tebing dan persoalan religiositas bangsa ini.

Bagi saya, ada kesamaan antara memanjat tebing dan beragama. (Ayu lantas tersenyum). Nanti kalau kamu baca novel ini akan ada kesamaannya. Kesamaannya gini, pemanjat dan orang beragama sama-sama ingin mencapai puncak.

Pemanjat tebing ada yang kotor atau dirty climbing. Mereka ini pemanjat yang merusak tebing. Mereka memasangi berbagai macam alat, bor, paku dan sebagainya untuk mencapai tujuannya mencapai puncak. Yang penting bagi mereka bisa sampai atas.

Begitu pula agama. Dalam mensiarkan kebenaran agamanya, ada yang mamakai cara seperti cara-cara pemanjat tebing kotor. Misalnya dengan main paksa saja, semua dihajar saja, kebudayaan setempat dihajar.

Tapi ada juga pemanjat tebing yang bersih, mencapai puncak dengan cara-cara terpuji, dengan cara-cara berdialog.

Jadi dalam mencapai tujuan apapun kita bisa melakukan dua jalan, jalan yang kotor, yang memaksa, yang merusak atau jalan yang bersih yang tidak memaksa.

Inspirasi novel ini adalah pacar anda, Erick. Apakah tokoh utama dalam novel ini yaitu Yudha sebagai pelukisan pribadi Erick?

Tokoh Yudha sebetulnya adalah saya juga. Yudha itu bagian diri saya yang skeptis dan sinis. Kalau Parangjati bagian diri saya yang bijaksana (Ayu lantas tertawa). Tapi saya lebih suka tokoh Yudha, karena tanpa tokoh sinis kita melihat dunia terlalu lempeng, terlalu biasa.Yudha tokoh yang mengacaukan banyak hal, memandang dunia dengan cara berbeda.

Hubungan Anda dengan Erick masih sampai sekarang?

Masih.

Mengapa anda bukan sebagai Marjanya?

Itulah salahnya, orang selalu mencari saya mewakili tokoh perempuan. Padahal belum tentu. Di Saman, banyak yang mengira saya sebagai Lailanya. Padahal sebenarnya saya sebagai Samannya.

Tokoh Marja terinspirasi dari beberapa teman-teman perempuan saya yang orangnya baik. Ia sederhana, tidak usah pakai teori macam-macam, tapi hatinya memang baik saja.

Novel kedua anda, Larung, tidak sesukses Saman, bahkan ada yang menyebut gagal karena kurang laku di pasaran. Lalu dibandingkan Saman dan Larung, Bilangan Fu ini, apa istimewanya?

Sekali lagi saya tidak pernah menulis buku untuk laris. Saya selalu mencadangkan kalau buku saya tidak disukai orang karena memang saya tidak pengin menyenangkan orang. Saya ingin menyampaikan apa yang menurut saya perlu. Saya ingin menyampaikan ide pergulatan saya. Jadi saya selalu siap jika novel saya tidak laris.

Soal Larung, orang yang suka sastra mengatakan bab I Larung bagus sekali. Tapi memang tidak ringan bagi banyak orang. Tidak semanis Saman. Tapi ya gak papa. Kalau disebut gagal ya tidak apa-apa.

Apa istimewanya Bilangan Fu?

Saman dan Larung dengan Bilangan Fu memiliki banyak perbedaan tapi ada banyak persamaan. Beda utama Bilangan Fu dengan Saman dan Larung, adalah zaman yang menjadi settingnya. Saman settingnya zaman Orba, dimana represi pemerintah masih keras sekali di semua bidang.

Saya ingin membongkar paradigma itu. Karena itu Saman dan Larung sebagai sebuah novel strukturnya tidak rapi. Ia seperti mozaik, fragmen yang terpisah-pisah. Tidak memakai plot yang lurus. Tapi itu merupakan salah satu cara yang saya ambil sebagai reaksi saya dari terlalu tertibnya nilai-nilai dan terlalu tertibnya kaidah menulis yang saya rasakan di zaman itu.

Sekarang justru saya merasa terlalu banyak akrobat dalam penulisan. Maka saya ingin kembali ke plot yang sederhana dan linear. Karena itu Bilangan Fu, dari segi plot dan cerita jauh lebih sederhana.

Jadi dari segi plot lebih sederhana. Tapi tetap mengandung banyak perdebatan. Lebih banyak perdebatannya dibandingkan dengan Saman.

Bilangan Fu masih mengangkat tema cinta yang sering menjadi cara klasik untuk menarik pembaca. Mengapa?

Bagi saya, cinta itu selalu menakjubkan. Di novel ini, tokohnya sangat dingin, sinis dan mengejek masyarakat. Tapi di sini kisah cinta bukan tempelan. Dihadirkan bukan hanya sebagai bumbu agar seru ceritanya.

Kamu bisa melihat perbedaan bagaimana seks digarap dalam film Hollywood dengan film Prancis. Di Hollywood, seks sering hadir sebagai bumbu pembungkus, dibikin erotis. Di film Prancis, seks dihadirkan sebagai persoalan manusia, misalnya laki-lakinya tidak bisa ereksi. Jadi cinta atau seks bukan sekadar bumbu.

Jadi Bilangan Fu lebih ringan dibaca dibandingkan Saman dan Larung?

Hmmm, susah menjawabnya. Mungkin lebih berat, kan lebih tebal (halamannya). Novel ini banyak sekali perdebatannya. Tapi perdebatannya tangkas. Saya menawarkan kata kunci baru yaitu spiritualisme kritis. Yang saya maksud adalah, orang tetap percaya sesuatu, apakah itu Tuhan atau nilai yang lain tapi ia tetap kritis pada apa yang dia percayai. Ia tidak buru-buru menerapkan kebenarannya pada orang lain. Karena kebenaran hakiki tetap jadi misteri. Yang lebih baik pada hari ini adalah kebaikan itu sendiri.

Mengapa sampai butuh waktu sangat lama untuk menyelesaikan novel ini?

Untuk mengetahui detail dunia panjat tebing, saya ikut latihan panjat tebing pada akhir 2003. Saya masuk sekolah Panjat Tebing Skygers. Lalu saya mulai menulisnya tahun 2004. Selama empat tahun saya melakukan pencarian yang tepat untuk menuliskan kisah ini. Tapi saya selalu tidak puas.

Baru September 2007 lalu saya menemukan cara menulis yang saya merasa puas. Setelah itu saya menulis nonstop. Jadi 4 tahun pencariannya, 9 bulan penulisan bentuk terakhir.

Biodata:

Nama Lengkap: Justina Ayu Utami
Lahir: Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968
Pendidikan: S-1 Sastra Rusia Universitas Indonesia
Buku yang ditulis:

Saman (memenangkan Sayembara Mengarang Dewan Kesenian Jakarta 1998)
Larung
Parasit Lajang
Sidang Susila
Bilangan Fu

Keterangan foto: Ayu Utami berfoto dengan penggemarnya. (Iin Y/detikcom)(iy/nrl)

Jumat, 18 Juli 2008

Merasa Seperti Si Tolol


Aku merasa seperti orang yang ingin pacarnya pindah agama. Aku merasa seperti si tolol.


:Bilangan Fu, Ayu Utami

Apa Kabar Malaysia?

Bersama peneliti ISIS dan peserta Malaysia International Visitor Program di Langkawi, Malaysia 16 Februari 2008. (Assistant Director-General ISIS Philip Methews, aku, bos Sonora Ibu Susan Masmir, peneliti ISIS ibu Zaenab, bos RCTI Atmadji Sumarkidjo, reporter RCTI Alexander Zulkarnaen, Mas Rizal Yussac) .

Kini Malaysia kembali menuding Anwar Ibrahim dengan kasus sodomi, lagu lama. Semoga demokrasi di Malaysia bisa lebih baik.

Selasa, 01 Juli 2008

Ibu negara

Bertemu dan mewawancarai Ibu Negara Ani Yudhoyono, aku jadi tahu ibu negara ini perempuan yang pintar. (Ya iyalah, sebagai anak Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Alm) tentu dia dididik dengan baik, dan tentu saja Presiden SBY pun berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan Ibu Ani).

Tapi, Ibu Ani (ini menurut aku loh) kurang begitu paham tentang penderitaan perempuan miskin. Tanggapannya soal kasus perempuan sangat datar.



Foto: Saat mewawancarai Ibu Negara Ani Yudhoyono.