Minggu, 24 Agustus 2008

Pada Suatu Pagi Hari

Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan taka ada orang bertanya kenapa.

Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin mambakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

Puisi Sapardi

Kamis, 07 Agustus 2008

Persoalan 3 Presiden (Jangan Serius)

Ketika Tuhan memanggil para presiden dari tiga negara, AS, Cina, dan Indonesia untuk dimarahi. Dari Amerika muncul George Bush. Dari Cina datang Presiden Hu Jintao. Dari Indonesia diutus Jusuf Kalla. SBY nggak berani soalnya.

Setelah habis-habisan mencela tindakan pemimpin dunia ini, Tuhan menyampaikan bahwa Ia sudah muak dan memutuskan dalam tiga hari dunia akan kiamat. Tiga pemimpin ini disuruh kembali ke negaranya untuk menyampaikan keputusan Tuhan kepada rakyat mereka masing.

Ketiga pemimpin pulang ke negara masing-masing sambil putar otak, bagaimana menyampaikan kabar buruk ini kepada rakyatnya.

Di depan Kongres Amerika dan disiarkan langsung di TV, presiden Bush mencoba, "Congressmen, ada kabar baik dan ada kabar buruk. Pertama kabar baik dulu ya. Tuhan itu benar-benar ada, seperti yang kita yakini. Kabar buruk: Tuhan akan memusnahkan dunia ini dalam tiga hari".

Hasilnya payah, terjadi kerusuhan dan penjarahan di mana-mana.

Di depan Kongres Partai Komunis Cina, Hu Jintao memodifikasi taktik Bush, "Kamerad, ada kabar baik dan ada kabar buruk. Pertama kabar baik dulu ya. Ternyata Marx, Stalin, Ketua Mao dan para pendahulu kita salah, Tuhan itu benar-benar ada. Kabar buruk: Tiga hari lagi Tuhan
akan mengkiamatkan dunia ini.".

Hasilnya lumayan, orang-orang Cina lari, heboh dan menangis ketakutan dan membanjiri tempat ibadah, mau bertobat.

Yang paling sukses Jusuf Kalla.

Di depan sidang paripurna DPR yang disiarkan langsung, ia tersenyum sumringah. "Saudara sebangsa dan setanah air, saya membawa dua kabar baik. Kabar baik pertama: Sila pertama Pancasila kita sudah benar, Tuhan itu benar-benar ada. Kabar baik kedua: dalam tiga hari semua masalah energi, pangan, kemiskinan, terorisme, dan penderitaan di Indonesia akan segera berakhir!"

Sukses besar, seluruh rakyat larut dalam pesta dangdutan dan pawai di mana-mana.

:posting seorang teman di milis mediacare

Jumat, 01 Agustus 2008

Ayu Utami: RI dalam Hal Apapun Medioker

Di dunia internasional, sastra Indonesia kurang begitu diakui. Pernah sempat satu kali muncul nama sastrawan Pramudya Ananta Toer dalam nominasi penerima Nobel sastra. Tapi akhirnya Pram pun tersingkir.

Anggota Dewan Kesenian Jakarta Ayu Utami membenarkan kondisi memprihatinkan sastra Indonesia tersebut. Ia mengakui dari segi kualitas, sastra Indonesia memang masih rendah. Bahkan tidak hanya sastra, dalam segala hal bangsa ini memang masih rendah.

"Semuanya di negeri kita memang masih rendah dibandingkan dunia. Ini harus diakui sajalah dengan legawa," kata si penulis novel Saman yang fenomenal tersebut.

Di sela-sela jumpa pengarang di Istora, Senayan, Jakarta belum lama ini, Ayu Utami membeberkan pandangannya tentang sastra Indonesia.

Ia juga menjawab semua tudingan miring terhadap dirinya. Ia tidak peduli dengan semua tudingan miring tersebut. Lalu seperti apa Ayu mendefinisikan dirinya sendiri?

"Saya sastrawan yang gigih. Hahahaha," kata Ayu setelah terdiam cukup lama. Berikut wawancara Iin Yumiyanti dari detikcom dengan Ayu Utami:


Bila membandingkan karya sastra Indonesia dengan sastra dunia, bagaimana penilaian anda?

Tidak usah memberi ukuran sastra Indonesia dengan sastra dunia. Karena persoalan Indonesia itu beda dengan persoalan internasional. Harus diketahui, Nobel bukan soal mutu. Tapi juga soal persaingan identitas. Nobel bagaimanapun ada urusan politik, ia akan memberi perhartian pada apa yang sedang jadi perhatian politik mereka.

Terus misalnya kenapa sastra kita tidak laku di Amerika? Kalau di Amerika Serikat dan Inggris, sastra Indonesia kurang bunyi karena kita tidak ada hubungan dengan mereka. Tapi kalau di Belanda, karya sastra kita cukup mendapat tempat, itu karena Belanda mempunyai pertalian dengan Indonesia.

Tapi kalau secara obyektif, karya yang mendapatkan Nobel dibandingkan karya sastra kita kan memang jauh kualitasnya?

Saya setuju. Memang seperti itu. Indonesia dalam hal apapun memang medioker. Jadi kita tidak bisa menuntut sastra kita bisa tinggi. Wong di bidang lain juga rendah kok.

Semuanya di negeri kita memang masih rendah dibandingkan dunia. Ini harus diakui sajalah dengan legawa.

Bagimana anda menyikapi kontroversi yang menerpa anda? Misalnya masih ada anggapan bahwa Saman itu bukan karya anda?

Saman bukan karya saya? Setelah 10 tahun saya berkarya dan melahirkan karya-karya lainnya, kalau masih muncul anggapan seperti itu ya saya nggak bisa menjawab. Ya sudah mau diapain?

Saya tidak harus bertanggung jawab pada tuduhan orang. Yang menuduh mereka, yang harus bertanggung jawab mereka, bukan saya.

Bagaimana dengan sebutan yang diberikan Taufik Ismail bahwa anda sebagai pelopor angkatan Fiksi Alat Kelamin (FAK)? Ada juga yang menyebut anda sebagai pelopor sastra lendir?

Soal pelopor sastra lendir? Ya gimana ya, persoalannya mereka hanya melihat lendir, ada yang lain selain lendir, di karya saya banyak kok yang kering-kering. Kenapa meliriknya yang lendir?

Menurut saya, seks itu harus dibicarakan terutama oleh perempuan. Karena perempuan itu secara seksualitas itu sudah rentan, bisa hamil karena diperkosa. Sudah rentan begitu masih ditambah represi dari masyarakat.

Tadi banyak yang meminta tanda tangan anda adalah perempuan berkerudung. Apa anda surprise?

Untuk novel, saya tidak begitu surprise. Dulu sih pas buku Parasit Lajang, saya surprise ketika tahu banyak perempuan berjilbab yang menyukainya.

Lalu seperti apa anda melihat diri anda sendiri?

Saya melihatnya terbalik, karena saya melihatnya dari cermin. Saya kan nggak bisa melihatnya secara langsung.

Apa yang terlihat dari cermin?

Diam lama.

Jadi di luar kontroversi itu, seperti apa anda mendefinisikan diri anda sendiri sebagai sastrawan?

Hmmm. Saya sastrawan yang gigih. Hahahaha. Saya itu sastrawan yang gigih. Bayangkan, untuk menulis novel ini (Bilangan Fu), saya habis-habisan. Saya ikut Sekolah Panjat Tebing. Saya latihan sampai luka-luka. Saya juga menelusuri goa-goa di Kebumen, Citatar.

Dan dengan upaya saya yang keras ini, belum tentu saya berhasil. Jadi saya satrawan yang gigih, pantang mundur. Saya akan mengeluarkan energi banyak sekali meskipun saya belum tentu akan berhasil.

Pada titik tertentu saya merasa ini tidak akan bisa diteruskan. Kalau gagal ya sudah. Yang penting kita telah bersikap sportif.

Kalaupun kalah, ya nggak apa-apa. Kita senang karena telah berusaha sampai titik yang penghabisan. Kita senang karena dikalahkan orang lain yang lebih baik dari kita.

Sikap sportif ini semestinya juga diterapkan dalam hal beragama dan berpolitik.

Yang paling mengerikan bagi seorang penulis katanya adalah gagal menulis, menurut anda?

Saya tidak takut kegagalan termasuk gagal menulis. Saya akan melihatnya sebagai sesuatu yang alami. Saya tidak takut.

Apa yang anda takutkan?

Saya takut kehilangan orang yang saya kasihi karena mati. Kalau harus kehilangan karena berpaling pada orang lain atau menyeleweng, saya tidak takut.

Itu kelemahan saya, melihat orang yang kita cintai mati. Kalau kematian saya sendiri, saya tidak takut.

Tapi ketakutan itu untuk diakui dan diatasi. Bukan untuk dihindari. Itu moto saya.

Biodata:

Nama Lengkap: Justina Ayu Utami
Lahir: Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968
Pendidikan: S-1 Sastra Rusia Universitas Indonesia

Buku yang ditulis:
Saman (memenangkan Sayembara Mengarang Dewan Kesenian Jakarta 1998)
Larung
Parasit Lajang
Sidang Susila
Bilangan Fu

Keterangan foto: Ayu Utami berfoto memberikan tandatangan untuk penggemarnya. (Iin Y/detikcom)(iy/nrl)

Ayu Utami: Taufik Ismail Seperti PKI Saja

Penyair Taufik Ismail belum lama ini kembali menegaskan keresahannya akan Gerakan Syahwat Merdeka. Gerakan ini salah satunya muncul lewat sastra. Mereka yang masuk dalam barisan yang dituding Taufik adalah para penulis fiksi yang suka mencabul-cabulkan karya.

Salah satunya yang kena tuding adalah Ayu Utami, si pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 lewat novel fenomenal 'Saman'. Taufik menyebut si Parasit Lajang ini sebagai pelopor angkatan sastra Fraksi Alat Kelamin (FAK). Itu gara-gara novel 'Saman' yang ditulis Ayu yang menabrak tabu seks menjadi trend dan banyak diikuti penulis lainnya.

Bagaimana pandangan Ayu atas tudingan yang dilontarkan Taufik Ismail? Di sela-sela memenuhi permintaan penggemar untuk menandatangani novel 'Bilangan Fu' dan foto bersama, Ayu menjawab semua tudingan itu.

Perempuan kelahiran Bogor itu mengaku surprise, karena meskipun ia dituding sebagai pelopor angkatan sastra Fraksi Alat Kelamin, ternyata sejumlah penggemarnya yang datang adalah dari kalangan perempuan berkerudung.

Berikut wawancara Ayu Utami dengan Iin Yumiyanti dari detikcom:


Apa pandangan anda terhadap sastra Indonesia kini? Taufik Ismail belum lama ini kembali menegaskan munculnya Gerakan Syahwat Merdeka. Apa pendapat anda?


Pernyataan Pak Taufik Ismail itu kurang baik karena ia suka memberi stigma. Itu sama seperti orang-orang PKI saja. Cara-cara seperti itu kurang sehat. Menurut saya itu terjadi karena pemikiran Pak Taufik terlalu sederhana, picik.

Saya merasa Pak Taufik seperti ini, seumpama melihat perempuan, dia kan punya mata, tangan, kaki, tapi Pak Taufik melihatnya kok hanya dari alat kelaminnya saja. Mengapa yang dia pikir hanya itu? Fokus dia hanya melihat pada syahwat dan kelamin. Saya pikir ada masalah dengan fokus Pak Taufik.

Menurut saya, kita boleh saja tidak setuju dengan sesuatu, tapi tidak boleh dengan memberikan stigma.

Tapi kalau diamati, setelah novel Saman yang anda buat, di dunia sastra memang seperti kebanjiran tema yang mengangkat masalah seks secara berani dan kebanyakan ini dilakukan para penulis perempuan. Tanggapan anda?

Sekarang soal sastra, atau baiklah soal novel. Kalau kita lihat setelah Saman atau tepatnya setelah reformasi, tiba-tiba novel atau fiksi yang mengangkat masalah seks meningkat. Ini kita harus melihatnya secara menyeluruh dan rileks. Jangan dilihat hanya sepotong-sepotong.

Harus diketahui masa itu kita baru saja mendobrak zaman yang represif. Situasi chaos dan terjadi euforia kebebasan setelah rezim Orba yang represif tumbang. Pada masa itu memang terjadi euforia kebebasan, termasuk masalah seks.

Euforia seks tidak hanya dilakukan sastrawan perempuan, ada juga laki-laki, Moammar Emka yang membuat Jakarta Undercover, itu kan laris luar biasa.

Tapi sekarang, setelah 10 tahun, pendulum beralih lagi. Sekarang pendulumnya pada agama. Setelah masa chaos, orang rindu pada hal-hal yang berbau spiritual, maka novel seperti Ayat Ayat Cinta pun laris.

Jadi apapun sebenarnya bisa jadi pasar bagi industri, penerbit juga film. Seks bisa jadi pasar, agama juga bisa.

Jadi menurut anda tidak ada Gerakan Syahwat Merdeka dalam sastra?

Saya tidak setuju dengan tudingan soal Gerakan Syahwat Merdeka. Yang dituduh itu kan salah satunya saya. Itu pandangan yang picik. Ada banyak hal dalam tulisan-tulisan saya, mengapa yang dilihat kok hanya seksnya?.

Maksudnya kalau ada syahwat merdeka, lawannya apa sih? Syahwat terikat? Itu sadomasokis namanya. Kalau mau menyalurkan syahwat harus diikat-ikat dulu.

Menurut anda, sebaiknya bagaimana memandang seks?

Seks harus diakui sebagai bagian dari kekuatan manusia. Maka harus diregulasi dengan baik. Diberi tempat aman, diberi ruang untuk berfantasi. Silakan mau syahwat merdeka, syahwat terikat, tapi jangan memberi gembok pada tukang pijat. Silakan saja liar dalam berfantasi, tapi dalam bertindak tetap dibatasi.

Saya sebetulnya mengajak orang untuk terbuka. Jangan membuat peraturan karena ketakutan. Kita takut begini lantas kita larang. Di negeri yang banyak VCD porno tidak semua terjadi perkosaan. Tidak ada relevansi antara pornografi dengan perkosaan. Kita ambil contoh di Jepang. Di sana, di restoran yang juga dikunjungi anak-anak , banyak disediakan komik yang isinya mengerikan sekali, seksnya kasar. Tapi di sana, jumlah perkosaan tidak tinggi.

Tingkat perkosaan tinggi, justru di mana perempuan sebagai individu tidak dihargai, dimana perempuan dianggap sebagai obyek.

Saya kira banyak kok laki-laki beradab yang merasa gengsi untuk memerkosa.

Kesimpulannya sastra masih aman-aman saja dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan?

Tidak perlu takut dengan seks. Aku heran, kenapa sih takut pada seks? Kalau mau tahu, data IKAPI justru memperlihatkan buku yang laku itu adalah buku pendidikan dan buku agama. Jadi tidak usah takut atau takut berlebih-lebihan pada seks. Nanti malah jadi neurotis.

Biodata:

Nama Lengkap: Justina Ayu Utami
Lahir: Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968
Pendidikan: S-1 Sastra Rusia Universitas Indonesia

Buku yang ditulis:
Saman (memenangkan Sayembara Mengarang Dewan Kesenian Jakarta 1998)
Larung
Parasit Lajang
Sidang Susila
Bilangan Fu

Keterangan foto: Ayu Utami berfoto bersama penggemar-penggemar ciliknya. (Iin Y/detikcom)(iy/nrl)