Senin, 31 Mei 2010

The Ghost Writer: Pembunuhan, Konspirasi & Memoar Eks PM

Roman Polanski bagai mutiara dalam dunia film. Nyaris tidak ada film biasa-biasa saja yang dilahirkannya. Sebut saja 'Rosemary Baby', 'China Town', dan tentu saja, 'The Pianist' yang telah menjadi film klasik yang selalu dikenang. Kini Polanski kembali dengan 'The Ghost Writer'. Sekali lagi veteran Polandia ini menciptakan karya yang brilian.

Dalam 'The Ghost Writer', Polanski merajut kisah seorang mantan perdana menteri (PM) yang gamang, seorang istri cantik yang penuh ambisi politik, dan seorang penulis kondang yang rela menanggalkan namanya demi uang. Polanski meramu kisah ini menjadi triller politik yang dipenuhi bumbu konspirasi.

Pada sebuah malam yang basah, Adam Lang (Pierce Brosnan), mantan perdana menteri Inggris meyibak alasannya masuk dunia politik. 'Sang Mantan' memberi alasan yang romantis, ia terjun ke dunia politik gara-gara cinta. Ia jatuh cinta pada aktivis politik yang cantik, Ruth Lang (Olivia Williams), yang mengetuk pintu rumahnya untuk membagikan selebaran politik.

Mike (Ewan McGregor), yang mendengarkan kisah 'Sang Mantan' itu sebenarnya adalah seorang penulis yang tidak berminat pada masalah-masalah politik. Tapi celakanya, ia disewa untuk menyelesaikan memoar Adam Lang yang penulisannya terhenti setelah McAra, pembantu sekaligus ghost writer memoar mantan PM Inggris itu tewas.

Menulis memoar mantan PM, bagi Mike, sepertinya akan menjadi hal sederhana saja. Di benak 'Ghost Writer' ini, penulisan memoar berarti sekadar bagaimana menulis dan menyusun kata, kalimat dan alinea yang menarik dibaca, inspiratif, dan pada akhirnya disukai dan laris.

Namun ternyata yang terjadi tidak sesederhana itu. Begitu sang penulis bayangan itu tinggal di pulau tempat persembunyian Adam Lang, pulau Martha, di kawasan pantai timur Amerika Serikat, dengan segera ia mencium banyak rahasia, kejanggalan, juga kebohongan, dan misteri. Mike pun terjebak pada upaya melakukan serangkaian investigasi yang membahayakan jiwanya dan juga skandal seks dengan istri mantan PM.

Kisah konspirasi, bila dibesut sutradara kurang piawai, biasanya menjadi kisah yang klise, dan tidak sedikit yang membodohi. Namun, di tangan Polanski, 'The Ghost Writer', akan sangat mencekam seperti banyak karya sang maestro lainnya. Film ini tidak hanya mendedahkan ketegangan, tapi juga mendesirkan pada kita sebuah renungan tentang potret manusia yang rapuh, dan penuh paradoks.

'The Ghost Writer' mengantarkan Polanski meraih Silver Bear, sebagai sutradara terbaik dalam Festival Film Berlin baru-baru ini. Dengan prestasi itu, rasanya film ini juga tinggal menunggu waktu, untuk dicatat sebagai salah satu film thriller poltik terbaik, yang pernah dibuat.

Film ini diangkat dari novel laris Robert Harris, seorang kolomnis politik Inggris yang mendukung Tony Blair. Begitu Blair mendukung perang Irak, Robert Harris mengundurkan diri sebagai pendukung Blair dan melahirkan novel 'The Ghost'.

Tokoh Adam Lang dalam The Ghost seperti personifikasi Blair. Di hari-hari pensiunnya Blair memang terus-menerus menjadi target dan kejaran wartawan, aktivis perdamaian, keluarga korban perang, dan bahkan pengadilan internasional kejahatan perang. Itu semua akibat kebijakan-kebijakannya semasa memerintah, yang sangat membebek pada Amerika, dalam perang melawan terorisme, perang Irak, dan perang Afghanistan.

'The Ghost Writer' mengungkap rahasia mengapa Adam Lang (Blair?) seorang politisi yang begitu karismatik dan pintar, selama menjadi PM Inggris, bisa begitu patuh kepada Gedung Putih, seperti kepatuhan anjing pudel pada tuannya.

Pierce Brosnan mampu memerankan tokoh Adam Lang, yang karismatis tapi tragis, dengan lentur dan penjiwaan yang kompleks. Secara mengejutkan, Brosnan mampu menampilkan sosok Adam Lang yang rapuh didera perasaan post power syndrome, stress, namun (berkepribadian) hangat.

Lewat, aktingnya yang bersinar ini, Brosnan seakan hendak menggiring benak penonton, untuk menyelami kesepian, kehampaan, sekaligus kemarahan Adam Lang, sosok yang semasa berkuasa pun tidak pernah bisa menjadi dirinya sendiri.

Sosok ini, yang dalam sudut berbeda, mudah mengingatkan kita pada karakter-karakter tragis pada film-film karya maestro thriller Alfred Hitchook.

Film yang dibuka dengan suasana tegang di sebuah pelabuhan ini, sayangnya ditutup dengan ending dramatis yang terasa bergaya Hollywood.

Well, bagi penonton Indonesia, selain nama negeri ini disebut, film ini memberi harapan, secanggih apapun penguasa membuat konspirasi , pada akhirnya kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.

detikcom, Jumat, 09/04/2010 15:01 WIB

Selasa, 18 Mei 2010

Robin Hood: Tafsir Jantan Sang Pahlawan Flamboyan

Apa lagi yang bisa diceritakan dari kisah Robin Hood yang sudah difilmkan berulang-ulang? Untuk tidak jatuh menjadi klise, mungkin tidak banyak lagi yang bisa dikisahkan. Tapi kisah legenda selalu memiliki penggemar setia. Dan, tafsir baru terhadap sebuah legenda, bahkan yang telah ditafsir dan dituturkan berulang-ulang, akan selalu menantang untuk disimak.

Maka Ridley Scott, yang terkenal pintar menafsir kisah-kisah epik sejarah dengan tafsir kontemporer (Kingdom of Heaven, Gladiator, Duelist), tanpa ragu memfilmkan kembali sang legenda. Di tangan Scott, Robin Hood yang selama ini terkesan sebagai kisah dongeng remaja dan anak-anak, tampil dengan tafsir baru, yang lebih segar, hidup dan menyejarah.

Tanpa kompromi, Scott menafsir ulang karakter Robin Hood secara modern. Sang perampok budiman itu dihidupkan kembali dengan karakter yang lebih jantan, lugas dan membumi. Ia bukan seorang bangsawan bercelana hijau ketat, dengan panah selalu di punggung, dan gerak tubuh seorang jagoan flamboyan. Ia hanya Robin Longstride, seorang prajurit rendahan ahli memanah, yang belakangan mengetahui dirinya anak seorang tukang batu.

Alkisah, pada awal abad 12, tepatnya tahun 1199, kondisi kerajaan Inggris sedang serba semrawut. Kerajaan itu terancam bangkrut, akibat terkurasnya harta kekayaan kerajaan untuk membiayai petualangan perang raja Richard sang Lion Heart, dalam perang salib.

Malangnya, dalam perjalanan pulang dari Yerusalem, Richard tewas, saat memimpin upaya penakhlukan sebuah kastil kerajaan Perancis. Kondisi caos akibat tewasnya raja Richard ini, dimanfaatkan Robin yang tengah dihukum karena kasus "ketidaksopanan" terhadap sang raja, untuk desersi.

Dalam pelarian, tanpa sengaja Robin berhasil menggagalkan upaya perampasan mahkota Raja Richard, oleh Sir Godfrey, oknum pejabat kerajaan Inggris, yang berkhianat, dan bersekutu diam-diam dengan Raja Phillip dari Perancis.

Insiden ini kemudian menuntun Robin menuju Nottingham, dan menemukan sejarah hidup serta takdirnya sebagai seorang legenda.

Tanpa Embel-embel

Film 'Robin Hood', tanpa embel-embel judul apapun ini, memang seperti sebuah prekuel dari berbagai kisah legenda Robin Hood, yang selama ini sering dikisahkan. Kisah film ini, bertutur tentang perjuangan dan sepak-terjang Robin Longstride, hingga akhirnya dia menjadi buronan kerajaan, dan masuk hutan sherwood menjadi penjahat budiman yang dikagumi..

Kisah dan penokohan dalam film, yang skenarionya ditulis Brian Helgeland ini, mengalami perubahan signifikan. Robin jadi rakyat biasa. Raja Richard, yang pada banyak kisah Robin Hood sebelumnya, digambarkan hidup dan pulang untuk merebut kembali tahta kerajaan Inggris, sudah dimatikan sang sutradara di awal cerita.

Dan hei Lady Marion (diperankan dengn bersinar oleh Cate Blancett), kekasih pahlawan kita itu diberi tafsir feminis. Di film ini, Marion bukan lagi Maid Marion, seorang putri cantik, yang tidak
berdaya menungggu dibebaskan sang pangeran. Melainkan seorang perempuan penuh warna, yang cerdas dan tidak takut bertempur.

Menyenangkan melihat chemistry antara Russel Crowe dan Cate Blanchett sebagai pasangan kisah legenda itu. Tak ada soundtrack sejenis 'Everything I Do I Do It For You' yang membuat kelepek-kelepek para perempuab tahun 1990-an. Tapi romantisme Robin-Marion, mampu dihadirkan dua peraih Oscar asal Australia tersebut dengan sangat natural, namun menggemaskan.

Bila ada cacat kecil yang bisa mengganggu kenikmatan menonton film ini, mungkin adalah imej dan tampilan fisik Russel Crowe, yang dengan segera akan mengingatkan kita pada karakter Maximus, yang dimainkannya dalam film 'Gladiator'. Meski sebagai Robin Hood, Crowe tidak bermain buruk, namun terasa sekali tidak ada usaha radikal untuk, misalnya, mengubah tampilan fisik Russell. Namun, cacat kecil tidak ada artinya, dibanding kegemilangan duet Scott-Russell menafsir kisah klasik ini, menjadi kisah sejarah kontemporer yang cerdas, dan kontekstual.

Orasi Robin Longstride, di tugu Magna Carta ---sesaat sebelum bangsawan dan rakyat Inggris bersatu melawan Perancis--- untuk mendesak Raja John mengakui kedaulatan warganya, sebelum ia menuntut kesetiaan rakyatnya, adalah pesan penuh amarah yang hingga kini masih sering kita dengar, di berbagai pojok dunia yang penuh penderitaan ini.

detikhot, Rabu, 19/05/2010 10:07 WIB

Jumat, 14 Mei 2010

Bumi dan Rembulan

Bumi tahu pada suatu hari nanti, ia pasti akan berjumpa rembulan lagi. Ia akan selalu tabah menanti. Tidak akan pernah menyerah. Dan tidak akan mau dipaksa kalah. Bumi akan terus berdiri, menanti, sampai tiba saatnya pada suatu hari nanti.