Rabu, 12 Maret 2008

Ayat-Ayat Cinta, Kampanye Poligami & Perlawanan Atas Hantu

Film 'Ayat-ayat Cinta' (AAC) menjadi buah bibir akhir-akhir ini. Orang berbondong-bondong
mendatangi bioskop untuk menonton film ini. Tidak hanya anak gaul yang datang, tapi kelompok 'religius' yang dikenal 'mengharamkan' bioskop pun ikut pula antre untuk membeli tiket film ini.

Apa sih menariknya Ayat-Ayat Cinta? Seorang ibu-ibu pengajian sampai dua kali menonton film besutan Hanung Bramanto tersebut. Kata si ibu itu, film yang bertutur kisah cinta Fahri dengan empat perempuan itu, sangat bagus. Ia sampai terhanyut dan meneteskan air mata saat menontonnya.

Teman saya seorang lelaki yang suka dugem, memuji habis film ini. Katanya, dengan menonton
film itu ia bisa belajar tentang agama dan bisa mengerti indahnya Islam..

Tapi, seorang teman saya lainnya, perempuan berjilbab menyatakan, AAC sebagai film buruk. Saya tersenyum. Saya bisa menerka alasan teman saya ini. Ia adalah pelahab karya-karya
'serius'. Ia pembaca karya-karya Karen Amstrong dan Martin Lings. Ia tidak suka karya pop. AAC bagi teman saya itu, barangkali terlalu ringan dan kurang 'berisi'. AAC, katanya, kisah cinta yang tidak masuk akal yang dibungkus 'agama'. "Saya nggak mau dibodohi dengan karya seperti itu," ketus teman saya.

Jadi apa menariknya AAC? Kalau saya tertarik AAC karena kontroversinya. Seorang ulama berpendapat, film ini lebih berbahaya daripada film maksiat. Menonton film ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi umat Islam. Mengantre film ini misalnya, membuat
seorang muslim sampai melupakan kewajiban utamanya, yakni salat. Saking banyaknya dampak negatif film ini, Ayat-Ayat Cinta pun diplesetkan menjadi Ayat-Ayat Setan.

Kelompok yang peduli soal gender, mengkritisi film ini sebagai ajang kampanye poligami terselubung. Pasalnya Fahri, tokoh utama AAC, yang digandrungi empat orang perempuan (Aisha, Maria, Nurul dan Noura), akhirnya menikah untuk kedua kalinya. Padahal ia telah
sepakat dengan syarat Aisha, istrinya untuk hanya mempunyai satu istri. Dalam AAC, memang akhirnya Maria, si istri kedua dimatikan. Namun, empat perempuan pemuja Fahri itu, dikisahkan semua setuju dan ikhlas dipoligami. AAC memberikan kesan bahwa poligami bukanlah kemauan laki-laki, melainkan desakan perempuan kepada laki-laki.

Satu lagi kontroversinya adalah soal pindah agama. Maria, yang seorang Kristen Koptik, istri kedua Fahri akhirnya masuk Islam. Adegan ini dikritik tidak peka atas kerukunan beragama.

Terlalu serius kontroversi tersebut? Ha ha ha ha, bisa saja. Tapi juga bukan tidak mungkin kontroversi itu bukanlah persoalan yang bisa dianggap 'hanya dilebih-lebihkan'. Soal kontroversi ini, silakan saja bagaimana anda menyikapinya.

Bagi saya, terlepas dari kontroversi yang makin melambungkan film ini, AAC adalah sebuah fenomena. Saya senang film ini disukai dan laris. AAC, menurut saya adalah kisah sukses perlawanan atas hegemoni rumus film laris. Selama ini, seperti ada rumusan tidak tertulis bahwa film yang laris adalah fim horor dan kisah cinta ABG. Maka film-film hantu dan cinta
ABG bertaburan di bioskop.

Tapi ternyata Ayat-Ayat Cinta yang tidak mengangkat kedua tema tersebut, justru meledak. Hanya dalam waktu kurang 2 minggu diluncurkan, menurut humas MD Picture
yang memproduksi film ini, 2,5 juta orang telah menonton film ini.

Saya berharap fenomena AAC akan menjadi trend baru bagi perfilman Indonesia. Setelah film Fatahillah yang sempat menggemparkan itu, film 'agamis' nyaris hilang dari perfilman Indonesia. Saya berharap lahirnya AAC akan diikuti munculnya film-film agamis lainnya. Harapan saya ini semoga tidak berlebihan, apalagi Hanung menjanjikan setelah AAC ini, ia akan menggarap
film KH Ahmad Dahlan. Jadi selamat datang film-film agamis!

Tidak ada komentar: