Jumat, 01 Agustus 2008

Ayu Utami: RI dalam Hal Apapun Medioker

Di dunia internasional, sastra Indonesia kurang begitu diakui. Pernah sempat satu kali muncul nama sastrawan Pramudya Ananta Toer dalam nominasi penerima Nobel sastra. Tapi akhirnya Pram pun tersingkir.

Anggota Dewan Kesenian Jakarta Ayu Utami membenarkan kondisi memprihatinkan sastra Indonesia tersebut. Ia mengakui dari segi kualitas, sastra Indonesia memang masih rendah. Bahkan tidak hanya sastra, dalam segala hal bangsa ini memang masih rendah.

"Semuanya di negeri kita memang masih rendah dibandingkan dunia. Ini harus diakui sajalah dengan legawa," kata si penulis novel Saman yang fenomenal tersebut.

Di sela-sela jumpa pengarang di Istora, Senayan, Jakarta belum lama ini, Ayu Utami membeberkan pandangannya tentang sastra Indonesia.

Ia juga menjawab semua tudingan miring terhadap dirinya. Ia tidak peduli dengan semua tudingan miring tersebut. Lalu seperti apa Ayu mendefinisikan dirinya sendiri?

"Saya sastrawan yang gigih. Hahahaha," kata Ayu setelah terdiam cukup lama. Berikut wawancara Iin Yumiyanti dari detikcom dengan Ayu Utami:


Bila membandingkan karya sastra Indonesia dengan sastra dunia, bagaimana penilaian anda?

Tidak usah memberi ukuran sastra Indonesia dengan sastra dunia. Karena persoalan Indonesia itu beda dengan persoalan internasional. Harus diketahui, Nobel bukan soal mutu. Tapi juga soal persaingan identitas. Nobel bagaimanapun ada urusan politik, ia akan memberi perhartian pada apa yang sedang jadi perhatian politik mereka.

Terus misalnya kenapa sastra kita tidak laku di Amerika? Kalau di Amerika Serikat dan Inggris, sastra Indonesia kurang bunyi karena kita tidak ada hubungan dengan mereka. Tapi kalau di Belanda, karya sastra kita cukup mendapat tempat, itu karena Belanda mempunyai pertalian dengan Indonesia.

Tapi kalau secara obyektif, karya yang mendapatkan Nobel dibandingkan karya sastra kita kan memang jauh kualitasnya?

Saya setuju. Memang seperti itu. Indonesia dalam hal apapun memang medioker. Jadi kita tidak bisa menuntut sastra kita bisa tinggi. Wong di bidang lain juga rendah kok.

Semuanya di negeri kita memang masih rendah dibandingkan dunia. Ini harus diakui sajalah dengan legawa.

Bagimana anda menyikapi kontroversi yang menerpa anda? Misalnya masih ada anggapan bahwa Saman itu bukan karya anda?

Saman bukan karya saya? Setelah 10 tahun saya berkarya dan melahirkan karya-karya lainnya, kalau masih muncul anggapan seperti itu ya saya nggak bisa menjawab. Ya sudah mau diapain?

Saya tidak harus bertanggung jawab pada tuduhan orang. Yang menuduh mereka, yang harus bertanggung jawab mereka, bukan saya.

Bagaimana dengan sebutan yang diberikan Taufik Ismail bahwa anda sebagai pelopor angkatan Fiksi Alat Kelamin (FAK)? Ada juga yang menyebut anda sebagai pelopor sastra lendir?

Soal pelopor sastra lendir? Ya gimana ya, persoalannya mereka hanya melihat lendir, ada yang lain selain lendir, di karya saya banyak kok yang kering-kering. Kenapa meliriknya yang lendir?

Menurut saya, seks itu harus dibicarakan terutama oleh perempuan. Karena perempuan itu secara seksualitas itu sudah rentan, bisa hamil karena diperkosa. Sudah rentan begitu masih ditambah represi dari masyarakat.

Tadi banyak yang meminta tanda tangan anda adalah perempuan berkerudung. Apa anda surprise?

Untuk novel, saya tidak begitu surprise. Dulu sih pas buku Parasit Lajang, saya surprise ketika tahu banyak perempuan berjilbab yang menyukainya.

Lalu seperti apa anda melihat diri anda sendiri?

Saya melihatnya terbalik, karena saya melihatnya dari cermin. Saya kan nggak bisa melihatnya secara langsung.

Apa yang terlihat dari cermin?

Diam lama.

Jadi di luar kontroversi itu, seperti apa anda mendefinisikan diri anda sendiri sebagai sastrawan?

Hmmm. Saya sastrawan yang gigih. Hahahaha. Saya itu sastrawan yang gigih. Bayangkan, untuk menulis novel ini (Bilangan Fu), saya habis-habisan. Saya ikut Sekolah Panjat Tebing. Saya latihan sampai luka-luka. Saya juga menelusuri goa-goa di Kebumen, Citatar.

Dan dengan upaya saya yang keras ini, belum tentu saya berhasil. Jadi saya satrawan yang gigih, pantang mundur. Saya akan mengeluarkan energi banyak sekali meskipun saya belum tentu akan berhasil.

Pada titik tertentu saya merasa ini tidak akan bisa diteruskan. Kalau gagal ya sudah. Yang penting kita telah bersikap sportif.

Kalaupun kalah, ya nggak apa-apa. Kita senang karena telah berusaha sampai titik yang penghabisan. Kita senang karena dikalahkan orang lain yang lebih baik dari kita.

Sikap sportif ini semestinya juga diterapkan dalam hal beragama dan berpolitik.

Yang paling mengerikan bagi seorang penulis katanya adalah gagal menulis, menurut anda?

Saya tidak takut kegagalan termasuk gagal menulis. Saya akan melihatnya sebagai sesuatu yang alami. Saya tidak takut.

Apa yang anda takutkan?

Saya takut kehilangan orang yang saya kasihi karena mati. Kalau harus kehilangan karena berpaling pada orang lain atau menyeleweng, saya tidak takut.

Itu kelemahan saya, melihat orang yang kita cintai mati. Kalau kematian saya sendiri, saya tidak takut.

Tapi ketakutan itu untuk diakui dan diatasi. Bukan untuk dihindari. Itu moto saya.

Biodata:

Nama Lengkap: Justina Ayu Utami
Lahir: Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968
Pendidikan: S-1 Sastra Rusia Universitas Indonesia

Buku yang ditulis:
Saman (memenangkan Sayembara Mengarang Dewan Kesenian Jakarta 1998)
Larung
Parasit Lajang
Sidang Susila
Bilangan Fu

Keterangan foto: Ayu Utami berfoto memberikan tandatangan untuk penggemarnya. (Iin Y/detikcom)(iy/nrl)

Tidak ada komentar: