Kamis, 17 Januari 2008

Soeharto: Die Hard 2

Soeharto Die Hard (2)

1. Menggiring Badai Di Penghujung Hari

Mantan Presiden Soeharto tidak pernah dibawa ke pengadilan. Empat Presiden yang menggantikan Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono , tidak pernah berhasil membawa pria kelahiran 8 Juni 1921 ini untuk menghadiri sidang. Upaya menyidangkan kasus korupsinya yang diduga merugikan negara Rp Rp 1,4 trilyun dan 416 juta dolar Amerika selalu mentok karena Soeharto sakit.

Hingga pada Januari 2008, Soeharto kritis dan belasan hari harus dirawat di Rumah Ssakit Pusat Pertamina (RSPP). Lagi-lagi kondisi sakit Soeharto kembali menimbulkan polemik atas kasus hukumnya. Tapi kali ini polemik lebih kencang dan dasyat lagi karena diyakini usia Soeharto tidak akan lama lagi. Maka di penghujung harinya Soeharto seperti menggiring badai.

Presiden SBY berusaha menghentikan badai itu. Ia meminta agar polemik kasus Soeharto dihentikan. Tapi tidak mempan. Badai terus saja berhembus karena semua pihak terus bersuara lantang. Cendana, DPR, parpol, pakar hukum, tokoh reformasi dan MPR saling silang pendapat tiada henti.

Misteri Telepon Tengah Malam

Jarum jam menunjukan pukul 23.30 waktu Malaysia. Presiden Yudhoyono (SBY),
yang sedang berada di negeri jiran dalam rangka tugas kenegaraan tiba-tiba ditelepon Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam perbincangan yang berlangsung 10 menitan ini, Kalla memberitahu SBY soal kondisi mantan presiden Soeharto yang semakin kritis hari itu, Jumat, 11 Januari 2008.

Selain melaporkan kondisi Soeharto, Kalla juga memberitahu soal telepon dari Try Sutrisno. Mantan wapres di masa orde baru itu menyampaikan keinginan keluarga Soeharto agar soal kasus Soeharto diselesaikan malam itu juga.

Mendengar permintaan itu, SBY agak terkejut waktu itu. "Presiden tidak tahu penyelesaiannya seperti apa yang dimaksud. Soalnya pemerintah tidak punya niat untuk mengungkit-ungkit masalah hukum Mantan Presiden Soeharto pada saat yang bersangkutan dalam kondisi sakit," kata Sudi Silalahi, dalam keterangan pers di kantor Departemen Pekerjaan Umum Jakarta.

Untuk itu SBY segera mengutus Jaksa Agung Hendarman Supandji bertemu dengan keluarga Soeharto malam itu juga di RSP Pertamina." Saya hanya menjalani perintah presiden," ujar Hendarman di kantor Kejagung.

Kedatangan Hendarman ke RSPP untuk melakukan perbincangan perihal kasus gugatan perdata terhadap Soeharto. Dan Hendarman diperintahkan untuk segera menyelesaikan masalah itu secepatnya, walaupun harus di luar pengadilan.

Pasalnya, menurut Hendarman, sesuai undang-undang, penyelesaian gugatan perdata di luar pengadilan bisa dilakukan. Cara itu juga sering terjadi dalam banyak perkara perdata.

Kedatangan Hendarman ke RSPP kemudian menimbulkan polemik. Ia disebut-sebut datang mewakili presiden siap memberikan maaf kepada Soeharto dengan syarat. Cara itu dianggap saling menguntungkan atau win-win solution. Jadi tidak ada yang melempar handuk (kalah) dalam proses hukum tersebut.

Tapi tawaran itu kemudian ditolak keluarga cendana. Pasalnya, Kubu Cendana tetap ngotot ingin berdamai tanpa harus ganti rugi. Sedangkan pemerintah menginginkan, apa yang menjadi hak milik negara harus kembali ke negara, baik melalui jalur atau di luar jalur pengadilan.

Bukan hanya menolak, pengacara Soeharto belakangan membantah kalau keluarga Cendana mendesak pemerintah untuk mencabut kasus perdata Soeharto." Nggak betul itu. Mereka nggak ngerti masalah hukum," kata Juan Felix Tampubolon, salah seorang pengacara Cendana.

Felix menduga upaya yang dilakukan Try Sutrisno menyangkut masalah politik. Tidak ada kaitannya dengan hukum. "Biasalah dalam politik jual-menjual". Ia juga mebantah keluarga Cendana telah menyepakati win-win solution yang ditawarkan pemerintah.

Bagi pengacara cendana, kalau ada out of court settlement, harus tanpa syarat. Jadi sederhana sekali. Mau dicabut, tidak apa-apa, silakan. Tapi tanpa syarat. "Kalau mau lewat hukum, proses saja secara hukum," tegas Felix.

Polemik soal hukum ini pun seakan tidak berkesudahan. Berbagai upaya hukum yang dilakukan untuk menyeret Soeharto, baik secara pidana maupun perdata seolah tidak berdaya.

Padahal, menurut Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Adnan Buyung Nasution, hanya butuh waktu sehari atau 1 kali 24 jam untuk mengadili mantan penguasa Orde Baru Soeharto.

Sebenarnya, kata Buyung, sidang bisa digelar tanpa perlu menghadirkan Soeharto, tapi ini berbeda dengan peradilan in absentia. Yang dibutuhkan dalam hal ini adalah niat kuat Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung untuk membuat terobosan sidang semacam itu.

"Sidang tanpa menghadirkan terdakwa karena sakit. Ini bukan in absentia. Yang penting butuh keyakinan dan alat bukti," kata Buyung, pendiri YLBHI.

Baru setelah sidang, lanjut Buyung, bicara masalah pengampunan/pemaafan (pardon), kalau supaya Soeharto meninggal dengan iklas dan tanpa beban. Jika sidang belum selesai, tidak mungkin bicara masalah pengampunan.

Pria berambut putih ini juga mengaku sudah membicarakan perihal ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Rabu, 16 Januari. Dalam kesempatan itu, Buyung meminta presiden untuk tidak mengampuni Soeharto sebelum sidang selesai. Kalau pengampunan dilakukan sebelum adanya sidang, presiden bisa terancam impeachment.

Ia juga merasa heran dengan sikap pengacara Soeharto yang plintat-plintut soal masalah perdata Soeharto. "Mereka kan justru yang meminta, kenapa belakangan menolak? Seolah-olah ini kan gagah-gagahan," kata dia.

Desakan kepada pemerintah untuk memaafkan Soeharto semakin menguat, sejak ia masuk rumah sakit, 4 Januari silam. Beberapa kalangan secara terbuka meminta SBY untuk memaafkan bahkan mengampuni sang jenderal besar purnawirawan tersebut. Alasan yang diungkapkan beragam. Ada yang merujuk pada sakitnya yang parah. Ada juga yang beralasan karana jasa-jasa Soeharto saat menjabat presiden selama 32 tahun.

Tapi bagi pemerintah hal itu tidak beralasan. Sebab, menurut Seskab Sudi Silalahi, Presiden SBY tidak berhak memberikan maaf atau pengampunan kepada mantan Presiden Soeharto karena belum ada keputusan hukum yang tetap terhadap Soeharto.

"Andaikata sudah ada keputusan tetap dari pengadilan, maka baru Presiden bisa mengeluarkan hak-hak itu dengan pertimbangan Mahkamah Agung," kata Sudi.

Sejak Masuk Sudah Ruwet

Berkas perkara setebal 3.500 halaman yang berisi dugaan "dosa-dosa" korupsi Soeharto, sudah lama ada di tangan jaksa dan hakim sejak tahun 2000. Berkas itu terdiri dari tiga bundel.

Bundel pertama setebal 2.500 halaman berisi berkas perkara tindak pidana korupsi. Bundel kedua setebal 800 halaman berisi daftar adanya benda sitaan dan barang bukti. Dan bundel ketiga, yang tebalnya 200 halaman berisi Ketetapan MPR dan Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga yayasan-yayasan.

Sayangnya, hampir satu dasawarsa berlalu, kasus dugaan korupsi Soeharto yang nilainya mencapai Rp 1,4 trilyun dan 416 juta dolar Amerika itu, belum juga terselesaikan. Padahal empat presiden silih berganti.

Beragam pola penyelesaian sudah dilakukan. Misalnya, seperti yang diungkapkan Adnan Buyung Nasution, seorang pakar hukum yang kini menjabat anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Kata Buyung, pada 1999 lalu, dirinya sudah mengusulkan agar pemeriksaan Soeharto obyektif bisa dibentuk komisi negara.

"Usul saya disetujui Presiden Habibie, dirumuskan draf keputusannya oleh Menteri Muladi, tapi kemudian ditolak entah kenapa," ujarnya kepada detikcom.

Upaya pengusutan terhadap Soeharto akhirnya memang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, yang waktu itu dipimpin Andi M Ghalib. Tapi 11 Oktober 1999, pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto.

Dua bulan kemudian, ketika Abdurahman Wahid menjadi presiden, kasus ini dibuka kembali. Jaksa Agung waktu itu, yakni Marzuki Darusman mencabut SP3 Soeharto.

Namun sejak ditetapkan sebagai tersangkan dan dilakukan penahanan kota maupun rumah, Soeharto tidak pernah menunjukan batang hidungnya ke aparat kejaksaan maupun di persidangan. Alasannya, karena yang bersangkutan sakit.

Puncaknya, 28 September 2000, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai Lalu Mariyun menetapkan penuntutan perkara pidana Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Alasannya, tim dokter penguji yang diketuai Prof Dr dr M Djakaria SpR menyimpulkan bahwa Soeharto mengalami sakit permanen. Sehingga ditinjau dari fisik maupun mentalnya tidak laik untuk disidangkan.

Keterangan tim dokter yang menyatakan sakit yang diderita Soeharto bersifat permanen dan sangat sulit untuk disembuhkan merupakan dasar alasan penghentian proses hukum sesuai ketentuan berlaku.

Di masa Abdulrahman Saleh menjabat Jaksa Agung, Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3) untuk kasus pidana mantan Presiden Soeharto ditetapkan. Langkah pria kelahiran pekalongan, 1 April 1941, kemudian menuai kritik.

Arman, panggilan akrab Abdulrahman Saleh, mengaku saat masuk ke Kejagung kasus Soeharto memang sudah ruwet. Karena setelah mengecek file-file kasus Soeharto sudah disidangkan pada tahun 2000. Tapi ternyata kasus ini selalu dikembalikan. Dengan alasan Soeharto sakit.

Ada surat keterangan dari dokter yang menjelaskan sakit Soeharto. Jika di bahasa Inggris kan namanya home sick distance trail. Dalam beberapa tahun itu sudah 3 kali minimal kasus ini dikembalikan dari pengadilan.

Karena sudah berlarut, Jaksa Agung yang diangkat SBY sejak 2004 ini, kemudian bersikap. "Saya punya prinsip orang sakit tidak bisa disidangkan. Apalagi nama penyakit Soeharto adalah kerusakan otak yang permanen," jelas Arman saat ditemui detikcom di rumahnya bilangan Pejaten, Jakarta Selatan.

Akhirnya Arman mengambil langkah Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3). Alasanya, karena kasus ini selalu dikembalikan oleh pengadilan. Bahkan saya dengar terakhir oleh pengadilan Jakarta Selatan berkasnya disuruh dibawa.

Ia juga merasa aneh jika ada yang bilang dia mengeluarkan SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan. "Itu salah. Karena perkaranya sudah pernah disidangkan, namun Pak Harto tidak pernah hadir. Jadi sudah lewat masa penyidikan," tegas Arman.

Didalam KUHAP, SKP3 bisa dibuka lagi, kalau orangnya sembuh. Sekarang ini Soeharto justru sedang dalam kondisi kritis. Jadi, imbuhnya, bagaimana bisa kasus ini dibuka atau disidangkan.

Urusan pidana Soeharto memang dianggap sudah tertutup. Tapi urusan perdata menyangkut sejumlah yayasan tetap saja terus bergulir. Sebab dalam masalah perdata, kasus ini bisa diwakilkan oleh ahli warisnya, yakni anak-anak Soeharto.

Tapi belakangan muncul wacana kalau Jaksa Agung Hendarman Supandji, pengganti Arman, menawarkan solusi win-win solution untuk kasus perdata Soeharto."Tidak ada istilah itu. Kalau perdamaian memang ada," kata Arman.

Sekalipun menurut mantan Jaksa Agung Abdurahman, masalah pidana sudah putus alias Soeharto tidak bisa disidangkan, tapi tetap saja masalah hukum Soeharto tetap menjadi polemik di masyarakat. Terutama saat kondisi Soeharto makin keritis.

Sejumlah pihak, terutama politisi meminta pemerintah untuk memaafkan atau mengampuni Soeharto. Bahkan beberapa politisi Golkar dan DPD meminta masalah hukum Soeharto dihilangkan dengan alasan kemanusiaan.

Amin Rais, yang disebut-sebut sebagai tokoh reformasi juga menyampaikan hal serupa. Dalam jumpa pers di kediamannya di pendopo Joglo, Sleman, Yogjakarta, 14 Januari lalu, Amien membacakan pernyataan tertulisnya yang berjudul 'Mari Kita Maafkan Pak Harto'. Amien juga menyampaikan bahwa ada pendekatan yang lebih tinggi selain pendekatan hukum, yakni moral kemanusiaan dan pendekatan keagamaan.

Namun urusan maaf-maafan yang diungkapkan sejumlah tokoh ini dinilai salah alamat. Sebab pemerintah tidak bisa memaafkan, sebelum ada putusan hukum. Sementara kasus hukum pidana terhadap Soeharto jelas-jelas sudah ditutup. "Soeharto tidak bersalah karena tidak ada Sidang. Jadi tidak perlu ada yang dimaafkan," kata Hendarman Supandji.

Menurut Hendarman, SKP3 berbeda dengan pengampunan yang merupakan wewenang presiden. Namun pengampunan terhadap Soeharto tidak mempunyai dasar hukum, karena tiadanya tindak pidana yang dilakukannya. Grasi itu bisa diputuskan jika sudah putusan. Rehabilitasi itu kalau sudah ada hukuman, namanya diperbaiki. Kemudian amnesti dan abolisi, nggak bisa masuk klausul hukumnya.

Tapi di sisi lain, pakar hukum dari UGM Denny Indrayana menilai, kasus Soeharto simbol paling kuat dari diskriminasi hukum. Sebab kasusnya dibiarkan mengambang tanpa ada penuntasan sejak 10 tahun terakhir ini. Apalagi sejumlah politisi ikut cawe-cawe dalam masalah ini.

Ramai-ramai Cari Selamat

Pengampunan terhadap mantan Presiden Soeharto semakin kuat berhembus. Tapi

untuk melakukan pengampunan terhadap Soeharto bukan perkara mudah. Sebab

proses pidana terhadap bekas orang nomer satu di Indonesia itu tidak bisa

berjalan karena sakit permanen.

Beberapa kalangan kemudian mencoba mencari terobosan salah satunya dengan

cara mencabut Tap MPR No. 11 Tahun 1998. Soalnya secara tegas dalam Tap

itu disebutkan untuk mengadili Soeharto. "Bagaimana mau dimaafkan

sedangkan secara hukum nama Soeharto masih tertulis sebagai orang yang

harus diadili,"begitu pendapat mereka

Salah seorang anggota DPR yang mengusulkan pencabutan Tap itu adalah

Patrialias Akbar dari Partai Amanat Nasional. Menurutnya, Tap MPR No.11

tahun 1998 harus dicabut terlebih dahulu sebelum ada keputusan pemerintah

mengampuni mantan Presiden Soeharto.

Tap MPR itu mengatur tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas

KKN yang mensyaratkan pengusutan mantan Presiden Soeharto dan kroninya.

Adanya kata-kata Soeharto dalam Tap MPR itu adalah hasil kompromi PPP dan

Golkar ketika MPR dipimpin Harmoko.

Waktu itu PPP menginginkan Tap khusus tentang KKN. Namun keinginan PPP itu

ditolak Golkar. Akhirnya kedua partai itu mencapai kompromi disisipkanlah

kata Soeharto dalam Tap MPR itu, yang selanjutnya dikukuhkan dengan Tap

MPR No I Tahun 2003.

Patrialis beranggapan, dengan pencabutan Tap MPR itu berarti telah

melakukan terobosan politik baru. Sebab, imbuhnya, penyelesaian kasus

Soeharto tidak harus ditempuh dengan terobosan hukum semata. Tapi

terobosan politik dengan mencabut TAP MPR No.11 tahun 1998, juga bisa

dilakukan. "Jika TAP itu tidak dicabut maka sepanjang masa Soeharto akan

menjadi tersangka," ujarnya.

Desakan pencabutan Tap MPR ini memang semakin menguat di Senayan. Sejauh

inisebanyak 12 anggota DPD dikabarkan telah menandatangani usulan

pencabutan Tap MPR tersebut. Selain DPD, Partai Golkar juga giat

menggalang dukungan untuk mencabut Tap MPR.

Ketua DPR Agung Laksono misalnya. Ia berpendapat, peninjauan ulang atas

putusan MPR itu perlu dilakukan. Agung melihat kewenangan MPR itu sangat

labil, terutama setelah Soeharto dinyatakan menderita sakit permanen.

Bukan hanya menghimbau mencabut Tap MPR, Agung juga mendesak pemerintah

agar memperhatikan aspirasi maafkan mantan Presiden Soeharto, "Aspirasi

maafkan Soeharto harus diperhatikan secara sungguh-sungguh," begitu kata

Agung.

Menurut Wakil Ketua Umum Golkar ini yang penting niatnya mengacu kepada

undang-undang yang ada. "Yang penting nawaitu-nya mengacu kepada UU yang

ada, apakah dengan UU Kejaksaan, TAP MPR No 11 tahun 1998, dan UUD 1945,

terserah," kata Agung.

Namun niat Agung ditentang koleganya Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. Politisi

dari Partai Keadilan Sejahterara ini punya pendapat lain untuk

menyelesaikan masalah Soeharto. Bukan Tap MPR nomor 11 yang dicabut. Tapi

cukup masalah Soeharto. Karena kalau mencabut Tap MPR tersebut sama saja

dengan mencabut semangat reformasi dan pemberantasan KKN.

Parahnya lagi, jika Tap MPR itu dicabut, kroni Soeharto bakal semakin tak

tersentuh. Ia pun menduga semangat mencabut Tap MPR tersebut ditunggangi

kroni-kroni Soeharto yang merasa 'tidak nyaman' aturan tersebut.

Para kroni ini berharap jika Soeharto lolos, mereka juga pasti bisa lolos.

"Mereka yang dulu telah menikmati Pak Harto saat masih berkuasa, sekarang

mereka ingin memanfaatkan Pak harto ketila sedang sakit," tegas Hidayat.

Di luar Senayan, penolakan pencabutan Tap MPR ini juga menguat. Salah

satunya dari aktivis Malari 1974, Hariman Siregar. Menurutnya, pencabutan

perkara dan pengampunan terhadap Soeharto tersebut sebenarnya tidak lebih

dari tindakan manipulasi yang dilakukan oleh kerabat maupun kroni Soeharto

untuk ramai-ramai menyelamatkan diri.

Kata Hariman, saat ini kerabat dan kroni Soeharto sudah melakukan

berbagai upaya untuk menyelamatkan diri. Tahap pertama yang dilakukan

adalah penghentian perkara pidana dan diikuti pencabutan perkara perdata.

Pada akhirnya, lanjut Hariman, adalah pencabutan Tap MPR yang

memerintahkan penanganan secara hukum terhadap Presiden Soeharto dan

kroninya.

Anggota DPR dan Pemerintah perlu hati-hati. karena dalam Tap, Soeharto

dan kroni satu paket. "Ini hanya taktik mereka menumpang pada kondisi

kesehatan Soeharto," jelas Hariman.

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Adnan Buyung Nasution

juga sependapat. Menurut Buyung, Tap MPR itu perintah konstitusi. Dan

tidak bisa dicabut lagi dan salah satunya caranya yah konsisten

dijalankan. Kalau sudah terpenuhi baru dikatakan selesai.

Menurut Buyung, ketetapan MPR itu mengharuskan proses hukum

atas Soeharto dan kroninya tanpa pengecualian dan karena itu proses hukum

harus dimulai Soeharto.

Apalagi, MPR yang sekarang, tidak ada kewenangan untuk bisa mencabut Tap

MPR itu karena MPR sekarang beda dengan yang dulu. Kalau dulu MPR adalah

lembaga tertinggi negara, sedangkan sekarang MPR hanyalah lembaga tinggi

negara.

Soeharto Die Hard (2)

2. Mencoba Kembali Unjuk Gigi

Setelah Soeharto lengser pada 1998, anak-anak Soeharto pun berurusan dengan hukum. Namun di tengah semua kesulitan itu, keluarga Cendana berusaha untuk mengembalikan pengaruhnya. Mereka melakukan berbagai manuver untuk menarik simpati masyarakat.

Pada 2006, upaya menarik simpati warga semakin gencar dilakukan. Putri Soeharto, Siri Hediati Hariyadi alias Titik, berkali-kali muncul ke publik. Ia membawakan sumbangan untuk korban bencana. Ia juga muncul di televisi sebagai presenter Piala Dunia.

Sementara kelompok pecinta Soeharto pun sudah tidak malu-malu lagi. Saat awal-awal reformasi, mereka memang tiarap dan bersembunyi. Tapi pada 2006, mereka keluar dari persembunyian dan memasang spanduk-spanduk untuk membela Soeharto. Pada Juni tahun ini, wajah ibukota pun dipenuhi dengan spanduk sang jenderal besar sedang tersenyum.

Dalam Kepungan Senyum Cendana

Jumat, 9 Juni 2006, pukul 22.45 WIB. Wawan kaget. Warga Radio Dalam, Jakarta Selatan dan keluarganya itu sedang asyik mantengin televisi. Mereka menanti-nanti perhelatan akbar Piala Dunia. Sungguh tidak dinyana, yang muncul di TV justru Titik Soeharto.

Siti Hediati Hariyadi alias Titik, malam itu memang muncul di layar kaca SCTV. Meski membawakan acara olahraga, Titik tampil formal. Ia mengenakan kemeja putih dipadu blazer warna abu-abu pastel. Rambut hitamnya yang ikal sebahu dikuncir setengah.

Di televisi pemegang hak siar piala dunia itu, Titik muncul sekitar 15 menit. Ia jelas terlihat gugup karena tidak terbiasa menjadi prsenter. Suaranya kerap terbata-bata. Matanya tidak lepas dari teks.

Namun senyum sumringah senantiasa mengembang di wajah putri keempat Soeharto itu. "Pemirsa, mari kita saksikan pertandingan Jerman melawan Kosta Rika," ajak Mbak Titik sambil tersenyum lebar ketika jarum jam menunjukkan pukul 23.00 WIB.

Sama dengan Wawan, Adi (34), warga Sawangan, Depok juga terbelalak dengan munculnya Titik sebagai presenter Piala Dunia. "Ngapain presenternya harus Titik? Kaku begitu. Kayak nggak ada yang lain saja?" gerutu Adi.

Hari-hari sebelumnya, mata Adi sudah sering bersitubruk dengan senyum ayah Titik. Setiap berangkat dan pulang kerja, pria beranak satu itu selalu melihat spanduk dengan foto Soeharto tersenyum.

Foto itu sama dengan gambar Soeharto saat masih menjadi presiden. Ia tersenyum dengan mata menyipit. Rambut putihnya ditutup peci hitam. Jas warna hitam dipadu kemeja putih dan dasi merah marun membungkus tubuhnya.

Bedanya, dulu gambar pria sedang tersenyum itu dipajang di kantor-kantor pemerintahan juga sekolah-sekolah. Sekarang foto pria itu bertebaran di jalan-jalan.

Spanduk yang dilihat Adi terpasang di pagar Lapangan Terbang Pondok Cabe, Tangerang, Banten. Dalam spanduk itu, selain foto Soeharto, juga tertera tulisan "Posko Dukungan".

Setiap melihat gambar itu, Adi selalu bertanya-tanya, "mengapa mendekati pesta piala dunia, tiba-tiba muncul Soeharto mania? Dapat bayaran berapa ya mereka?" kata Adi.

Selain di Pondok Cabe, spanduk Soeharto juga menghiasi Pamulang, Tangerang, Banten. Foto itu mejeng di depan perumahan Vila Dago dan Polsek Pamulang.

Di Pamulang, foto disertai tulisan, "Apa pun yang terjadi kami tidak akan melupakan jasa Soeharto menumpas Komunis". Di bawah tulisan itu tertera, Irak alias Islam Radikal Anti Komunis.

Tak hanya di pinggiran Jakarta, foto Soeharto mesem juga bisa ditemukan di Jakarta Pusat. Tepatnya di Jalan Sentiong dan Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat.

Di Jalan Sentiong, tepatnya sekitar 100 meter dari Masjid Al Jihad, foto pria tersenyum itu menggelantung di antara dua tiang listrik. Kain spanduk telah robek, namun gambar itu masih jelas untuk dikenali. Dia adalah Soeharto. Di sebelah gambar Soeharto, ada sejumlah huruf yang tidak lagi bisa dibaca karena kain spanduk sudah sobek-sobek.

Menurut Jumilah (40), pemilik warung Tegal (Warteg) tidak jauh dari gambar Soeharto dipasang, spanduk itu dipasang oleh tiga laki-laki berkulit gelap dengan rambut kriting.

Kain berwarna putih sepanjang 2 meteran itu dipancangkan pada Minggu 4 Juni pagi.
Namun sore hari, kain itu langsung robek diseruduk bus. "Sorenya kena bus, putus," tutur Jumilah.

Tak puas hanya mejeng di spanduk dan layar kaca, simpati untuk Soeharto juga dijaring lewat dunia maya. Soeharto mania yang tergabung dalam Ikatan Masyarakat Pecinta Soeharto (Imaha) misalnya, aktif berkampanye dengan mengirimkan email ke media massa. Isinya memuji-muji sisi positif penguasa Orde Baru itu.

Imaha juga terang-terangan mengaku merindukan kepemimpinan Soeharto. "Organisasi ini merupakan kerinduan masyarakat pada ekonomi, keamanan, dan kenyamanan hidup baik pada zaman Soeharto dulu," kata Iwan Panggu, Ketua Imaha.

Ada apa dengan Cendana? Mengapa sekarang terang-terangan mencari simpati publik? Pengamat politik Ikrar Nusa Bhakti menilai, semua manuver itu merupakan upaya Cendana untuk come back ke panggung politik Indonesia. "Cendana ingin mencari simpati untuk memperbaiki citranya," kata Ikrar.

Pada Pemilu 2004, Cendana telah berusaha come back ke panggung politik. Putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana atau Tutut tampil dengan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Tapi upaya ini gagal. PKPB gagal mencapai batas minimal perolehan suara.

Entah belajar dari kegagalan itu, kini Cendana mencari terobosan baru. Dan Titik rupanya dipilih menjadi Juru Bicara menggantikan Tutut.

Royal Alirkan Uang Kemana-mana

Titik, tidak berarti telah selesai. Ia tidak diam. Saat ayahnya dihujat dan di-kuyo-kuyo untuk diadili, ia aktif menarik simpati. Perempuan itu menemui pengungsi Merapi. Ia meminta Soeharto dimaafkan.

Saat itu 20 Mei. Soeharto terbaring lemah di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) setelah Kejagung menyatakan akan kembali memeriksanya. Titik pergi ke Desa Tanjung, Kecamatan Muntilan, Magelang. Putri keempat mantan presiden itu menyumbang Rp 100 juta.

Belum satu bulan, wajah Titik kembali menemui publik. Pada 2 Juni, ia mengunjungi korban gempa. Uang yang dibawanya kian tebal, Rp 1 miliar. Uang diserahkan kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X.

"Ini merupakan rasa keprihatinan bapak kepada Yogya dan Jawa Tengah. Walau dalam kondisi sakit, Bapak masih perhatian," kata Titik diplomatis usai memberikan bantuan.

Di Desa Wukirsari, Imogiri, Bantul, adik Tutut itu menyampaikan salam dari ayahnya yang sedang sakit. "Ada salam dari Pak Harto," katanya kepada korban. Ia juga menasihati korban agar sabar.

Menurut pengacara Soeharto, M Assegaf, keluarga Cendana mempunyai kesadaran tinggi untuk memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Kedatangan Titik menemui pengungsi Merapi dan korban gempa, katanya, sebagai salah satu contohnya.

Tapi bagi pihak-pihak yang ingin meminta bantuan dana dari Cendana akan dikenai prosedur. Kelompok itu harus mengajukan proposal terlebih dahulu. Proposal kemudian akan dicek bahkan didatangi sampai ke lokasi untuk mengetahui keseriusan kebutuhan bantuan.

"Kalau memang, perlu dibantu pasti dikasih. Seperti contoh, ada pembangunan masjid di suatu daerah, setelah dilihat memang sangat membutuhkan, maka dibantu," jelas Assegaf kepada detikcom.

Assegaf mengaku tidak tahu adanya ormas-ormas yang mendekati Cendana untuk meminta bantuan dana. Tapi biasanya kalau ada ormas-ormas yang meminta dana itu, betul-betul bisa memanfaatkan bantuan tersebut biasanya dikasih. "Asalkan bukan untuk kepentingan pribadi," katanya.

Menanggapi munculnya posko dan spanduk dukungan untuk Soeharto, Assegaf membantah Cendana di balik aksi itu. "Jangan beranggapan Soeharto banyak duit, kemudian ada organisasi yang mendukung cendana kemudian dikasih uang, saya rasa tidak mungkin," tandasnya.

Ia juga meragukan dukungan yang disampaikan lewat spanduk dan posko-posko sifatnya murni. "Saya meragukan apakah itu betul-betul murni mendukung ataukah ada politik tertentu, kita tidak tahu lah," katanya.

Bisa jadi keraguan Assegaf bersumber pada ketidakseriusan posko pendukung Soeharto. Bila dibandingkan dengan posko pendukung Megawati yang marak sebelum Pemilu 2004, aksi Soeharto mania bisa bilang terlalu main-main.

Pendukung Mega mendirikan posko di mana-mana. Meski kecil, posko mereka bisa ditemui, karena jelas memasang spanduk lambang PDIP dan Mega. Mereka juga melakukan cap jempol darah menolak fatwa ulama yang melarang perempuan menjadi pemimpin.

Sementara Soeharto mania, meski spanduknya bertebaran dan kampanye lewat email, mencari posko mereka sangat sulit. Markas Ikatan Masyarakat Pecinta Soeharto (Imaha), misalnya hanyalah warnet. Di depan warnet itu tidak ada spanduk atau papan nama yang menjadi penanda di situ pendukung Soeharto berkantor.

Islam Radikal Anti Komunis (Irak) juga sama saja. Meski memasang spanduk pokso dukungan, tidak otomatis di dekat spanduk itu ada posko Soeharto mania. detikcom awalnya mendapatkan kabar alamat Irak di Jalan Sentiong.

Seorang warga menuturkan, memang sebelumnya ada spanduk yang menyebut ada posko pendukung Soeharto. Tapi di mana posko itu berada tidak jelas. detikcom lantas diberikan alamat rumah pimpinan posko, Alan.

Di rumah Alan itulah, rupanya kegiatan dukungan pada Soeharto dioperasikan. Di situ juga sama sekali tidak ada spanduk dan papan nama.

Imaha dan Irak mengaku mereka tidak pernah mendapatkan ataupun meminta bantuan dana dari Cendana. Warga pun tidak ambil pusing soal klaim itu.

Warga hanya berharap agar berdirinya posko pendukung Soeharto tidak mengganggu mereka. "Yang penting nggak mengganggu dan meresahkan masyarakat saja," harap Taufik, warga sekitar kantor Imaha.

Para Pecinta Keluar Dari Persembunyian

Pria itu dulunya wartawan. Namanya Iwan Panggu, umur sekitar 40 tahun. Kini ia menjadi pengusaha warung internet alias warnet. Dua handphone menemani aktivitas Iwan. Salah satunya, telepon comunicator berseri Nokia 9300. Selain bisnis warnet, Iwan aktif menggalang dukungan untuk mantan presiden Soeharto.

Mantan wartawan itu mengetuai Ikatan Masyarakat Pecinta Soeharto (Imaha). Organisasi Soeharto mania itu berdiri pada 13 Januari 2006.

Awalnya, Iwan ngobrol lewat internet dengan teman-temannya. Dari chatting itu diperoleh kesimpulan, kehidupan sekarang susah bahkan lebih susah dibanding zaman Soeharto.

"Enak zaman Pak Harto dahulu. Cari makan gampang, cari kerjaan sangat gampang. Zaman dulu kalau sudah jam 3 malam, mengantuk di jalan, parkir motor, terus tidur tidak apa-apa. Tapi kalau sekarang bisa "digarong" orang," jelas Iwan saat ditemui detikcom di markas Imaha, Jalan Lenteng Agung Raya, Jakarta Selatan.

Dari chatting itu, Iwan lantas mengumpulkan orang-orang yang mempunyai kerinduan yang sama. Lalu didirikanlah Imaha dengan tujuan awal, ingin hidup tenang dan tentram.

"Tidak seperti suasana seperti sekarang ini, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan di mana-mana. Pada masa Soeharto berkuasa tidak ada seperti ini," kata Iwan.

Dengan bangga Iwan mengklaim anggota Imaha kini berjumlah 1.800 orang. Ia optimis jumlah anggota bisa mencapai 11-12 juta orang.

Dalam 3 tahun ke depan, harap Iwan, Imaha sudah berdiri di setiap kecamatan di seluruh Indonesia. Ia ingin dalam setiap rumah, ada salah satu anggota keluarganya yang masuk Imaha.

"Mereka yang merasa susah pasti akan gabung, dengan harapan ada titik terang yang kita tuju," kata pria yang akrab memakai bahasa gaul. Selama perbincangan dengan detikcom, ia sering kali melontarkan kalimat "gitu loh".

Selain berkomunikasi lewat internet, Imaha juga melakukan jumpa darat. Mereka pernah menjenguk Soeharto saat terbaring sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Namun anggota Imaha itu tidak bisa bertemu langsung dengan idolanya. Mereka hanya ditemui pengawalnya, Pak Tedjo.

Soeharto mania ini juga siap mendonorkan darahnya kepada penguasa 32 tahun Indonesia itu. Saat Soeharto dikabarkan butuh banyak darah, Iwan mengumpulkan anggota Imaha. Sebanyak 128 orang menyatakan ikhlas menyumbangkan darah.

"Tapi setelah sore-sore, Mbak Tutut bilang darah sudah banyak. Maka kita mundur tidak jadi. Buat apa? Nanti sia-sia," cerita pria yang terbalut kaos warna putih dipadu celana panjang warna senada dan sepatu gunung.

Selain Imaha, Soeharto mania juga bergabung dalam Islam Radikal Anti Komunis (Irak). Lembaga inilah yang aktif memasang spanduk Soeharto mesem di jalan-jalan.

Irak terdiri dari 12 elemen organisasi yang dulunya menjadi Pamswakarsa pada Sidang Istimewa MPR 1998. Mereka antara lain Putera Pembebasan Bangsa dan Gerakan Pemuda Islam.

Bila Imaha mengkampanyekan kehidupan 'makmur' di masa lalu, Irak memuji keberhasilan Soeharto menumpas komunis. Bagi Darwin, Ketua Putera Pembebasan Bangsa, Indonesia sudah hancur jika Soeharto tidak membubarkan komunis pada 1966.

"Jasa Pak Harto yang kita lihat. Kita lihat ada berapa juta manusia yang dibantai di Rusia dan Cina oleh komunis. Kalau pada waktu itu, Pak Harto tidak berani membubarkan komunis, maka makin hancur negara ini," jelas pria berpenampilan necis itu.

Irak menginginkan hari lahir Soeharto 8 Juni dijadikan Hari Anti Komunis. "Pasti ada pro dan kontra, tapi kami menilai wajar dan layak karena hanya Soeharto yang berani membubarkan komunis," tandas Darwin.

Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam (GPI) Zulfajri Abu Ghozie juga mengaku bergabung dalam Irak karena menilai kelompok yang menuntut pengadilan terhadap Soeharto didominasi kelompok-kelompok kiri.

"Mereka itu kelompok-kelompok yang memakai ideologi komunis sebagai landasan pergerakan mereka, kemudian kita tergerak bahwa gerakan komunis ini yang dibubarkan Soeharto ternyata dicoba dibangkitkan kembali. Mereka harus dilawan," kata Zulfajri.

Baik Imaha dan Irak membantah mereka didanai Cendana. Biaya operasional sehari-hari mereka berasal dari iuran pribadi dan sponsor. Siapa sponsor itu, mereka menolak membukanya. Imaha dan Irak juga mengaku tidak akan meminta dana Cendana.

Mereka, katanya akan menemui keluarga Soeharto tapi untuk berbicara masalah kebangsaan. Soal dana, katanya, asalkan untuk urusan kebangsaan, mereka rela berkorban. "Saya berani keluar uang Rp. 50 ribu, untuk beli solar, karena saya atas nama bangsa," kata Darwin.

Soeharto mania boleh saja berkata demikian, tapi sejumlah orang tetap menduga kemunculan mereka didanai Cendana. Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan misalnya, menilai organisasi Soeharto mania sengaja dibentuk untuk menandangi opini tentang pengadilan terhadap Soeharto.

"Di balik mereka bisa Cendana. Bisa kroninya. Atau orang-orang yang menganggap bahwa Soeharto adalah orang yang berjasa bagi hidupnya," kata Trimedya.

Ibaratnya dagangan, Soeharto mania ini hanya jualan manisan masa lalu. Rasanya memang manis di bibir, tapi akan sangat cepat hilang. Bahkan yang mengonsumsinya berlebihan akan terkena serak dan batuk-batuk.

"Bagi saya, zaman Soeharto itu penuh kepura-puraan. Semua serba ditutup-tutupi. Yang jelek-jelek tidak boleh diberitakan. Apa enaknya hidup seperti itu? Enakan sekarang, bebas," kata Chamsyah, pria yang bekerja di sebuah perusahaan di Gatot Subroto, Jakarta.

Trimedya juga sepakat dengan Chamsyah. Politisi PDIP itu yakin jumlah Soeharto mania sangat minim. "Ini membuktikan bahwa soeharto masih ada yang mendukung. Tapi massanya sangat minim," demikian Trimedya.

Manuver Yang Tak Dianggap

Tetangga anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bimo Nugroho ribut. Usai nonton siaran Piala Dunia (PD), mereka ramai-ramai mengkomplain presenter PD. Katanya salah satu host-nya kaku dan canggung. Namanya Titik Soeharto.

"Para tetangga saya malah berdebat apa benar itu anak Pak Harto. Mereka mengira Mbak Titik adalah presenter baru yang masih canggung. Mereka lebih kenal Mbak Tutut," cerita Bimo kepada detikcom.

Penampilan Titik merupakan salah satu manuver yang dilakukan keluarga Cendana. Sebelum muncul menjadi host di televisi tempat ia menjadi komisaris, Titik telah tampil memberikan sumbangan-sumbangan.

Putri keempat Soeharto itu muncul membawa Rp 100 juta untuk pengungsi Merapi. Lalu menyerahkan Rp 1 miliar untuk korban gempa Yogyakarta. Semua aktivitas itu dilakoni mantan istri Danjen Kopassus Letjen Prabowo Subianto itu kala pemerintah akan memutus nasib Soeharto.

Manuver tidak hanya dilakukan langsung keluarga Cendana. Seiring wacana pengampunan bagi penguasa Orde Baru itu, di jalan-jalan pun bertebaran foto Soeharto. Foto disertai tulisan yang isinya dukungan terhadap Soeharto.

Bagi Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan, manuver keluarga Cendana dilakukan untuk menandingi opini tentang pengadilan terhadap Soeharto.

Semua kroni dan orang-orang yang pernah menerima jasa penguasa Orde Baru itu tidak ingin mantan bosnya diseret ke pengadilan. "Karena kalau Soeharto tidak diadili, harapannya mereka juga tidak diadili," jelas Trimedya.

Politisi PDIP itu tidak mempercayai munculnya spanduk dan posko-pokso mendukung Soeharto bersifat tulus. Aksi itu kental muatan politisnya, sehingga Trimedya yakin ada kelompok-kelompok yang bermain di belakangnya.

"Siapa mereka? Bisa Cendana, bisa kroni-kroninya atau orang-orang yang menganggap bahwa Soeharto adalah orang yang berjasa bagi hidupnya," urai Trimedya.

Pengamat politik Ikrar Nusa Bakti juga memberikan analisa yang sama. Soeharto mania, bagi Ikrar adalah masa bayaran. Apalagi mayoritas anggota mereka berpenampilan seram, sangat beda dengan mahasiswa dan cendekiawan yang menyuarakan agar Soeharto diadili. "Jadi ini yang saya lihat adalah gerakan yang bukan dari hati nurani," papar Ikrar.

Dagangan Soeharto mania, misalnya yang dijajakan Ikatan Masyarakat Pecinta Soeharto (Imaha), dinilai tidak akan laris. Menginginkan 'serba enak' di masa lalu, menurut pengamat politik Mochtar Pabotingi, merupakan kerinduan yang konyol.

"Itu kerinduan yang sangat konyol. Kepemimpinan Soeharto kuat dan berwibawa, namun kepemimpinan Soeharto tidak benar. Apakah masyarakat yang merindukan kepemimpinan Soeharto ini tidak pernah melihat pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama masa kepemimpinan Soeharto. Belum lagi masalah korupsi, kolusi, juga nepotisme?" kritik Pabottingi.

Ikrar juga bersikap sama dengan Pabottingi. Menurutnya jika dilakukan referendum tentang pilihan apakah orang akan memilih hidup di masa lalu dengan masa kini, mayoritas orang akan memilih hidup di masa kini.

"Walau bagaimanapun, kemakmuran tidak akan ada artinya tapa kebebasan demokrasi," tandas Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI itu.

Bagi Ikrar, jalan bagi Cendana untuk come back, tidak akan mudah. Spanduk dan posko dukungan, justru memunculkan kecurigaan banyaknya duit yang dikorupsi Soeharto. Pemunculan Titik menjadi presenter piala dunia juga jadi bahan komplain karena mengganggu penonton.

"Kalau buat saya tidak jadi soal Titik muncul di televisi, tergantung pemirsa sendiri. Apakah dia kapabel dengan presenter sendiri atau tidak. Kalau kita lihat, saat terjadi tanya jawab, terlihat dia tidak konsentrasi penuh sebagai presenter yang seharusnya bersifat dinamis dan ber-background olahraga," kata Ikrar.

Ikar berpesan sebaiknya Cendana tidak usah memaksakan diri kembali ke panggung politik. Bagi peneliti itu, Cendana tidak lagi memiliki apa-apa untuk bisa meraih kembali simpati masyarakat.

"Kalau kita lihat Pak Harto punya apa sih? Maksud saya dalam situasi yang sangat sulit ini. Maksud saya, sakit sudah sangat keras, untuk apa mereka memaksakan ini. Karena ini menjadi bahkan bisa menjadi arus balik. Bahkan menjadi bumerang," imbau Ikrar.

Sementara bagi Almuzammil Yusuf, peluang come back Cendana diterima masyarakat, tergantung keberhasilan reformasi. Kalau reformasi dapat membuktikan bukan hanya bisa memberikan demokrasi, tetapi juga kesejahteraan, peluang Cendana diterima rakyat, akan kecil. Tetapi kalau reformasi gagal membuktikan, maka orang akan berbicara mesalah sebaliknya.

Politisi PKS itu juga tidak mengkhawatirkan kembalinya Cendana ke panggung politik. "Saya kira reformasi ini sudah cukup kuat. Tinggal masyarakat saja yang memilih, karena masyarakat sudah pintar," demikian Almuzammil.

Soeharto: Die Hard (2)

3. Masa Depan Trah Cendana

Tetap Populer Di Tengah Hujatan

Lantai 5 di Rumah Sakit Pusat Pertama (RSPP) sepekan lebih kebanjiran pembesuk. Rakyat jelata, pejabat, pengusaha, agamawan, budayawan, dan politisi datang silih berganti ke kamar president suite I-II nomor 536 yang ada di lantai itu. Di kamar itu bekas Presiden kedua RI, Soeharto dirawat sejak 4 Januari 2008.

Kerabat dan kolega semua mendoakan kesembuhan bagi Soeharto. Bekas lawan-lawan politiknya pun tidak mau ketinggalan ikut menjenguk dan mendoakan Soeharto. Bisa dibilang, sakitnya Soeharto mengundang simpati hampir seluruh masyarakat Indonesia. Di sejumlah daerah, beberapa kelompok masyarakat juga ikut mendoakan kesembuhan Soeharto. Bahkan di Surabaya, buku-buku tentang Soeharto laris manis terjual.

Tapi bukan berarti semua masyarakat simpati terhadap mantan penguasa orde baru tersebut. Ada juga yang tetap ngotot agar Soharto ngotot untuk menyeret Soeharto ke pengadilan. Dr Asvi Warman Adam, seorang Peneliti Utama LIPI, melihat, sakitnya Soeharto menimbulkan empat pandangan di kelompok masyarakat. Ada golongan yang sangat memuji, pragmatis, kritis, dan sangat kritis.

Golongan yang sangat memuji ini pertama terdiri atas para pembantu presiden, politisi yang pernah diuntungkan rezim atau yang ingin menyenangkan hati Soeharto. Golongan pragmatis, berasal dari para teknokrat yang pernah menjadi menteri dan pejabat tinggi atau pakar yang melihat aspek positif dari ekonomi Orde Baru.

Adapun kategori ketiga adalah pengamat dan aktivis LSM yang kritis terhadap kepemimpinan Soeharto yang dinilai otoriter. Sedangkan golongan terakhir adalah mereka yang bersuara sangat keras terhadap korupsi dan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintahan Soeharto.

Asvi sendiri mengaku berada di tengah-tengah. Alasannya, untuk menilai Soeharto saat ini sangat sulit. "Perlu waktu beberapa tahun untuk menunggu situasi yang lebih tenang sehingga kita dapat mengeluarkan pendapat yang jernih," tulis Asvi di sebuah media massa beberapa hari lalu.

Namun berdasarkan penilitian yang dilakukan Lingkar Survei Indonesia (LSI), golongan yang mayoritas adalah kelompok yang memuji. Setidaknya ini tercermin dari hasil survei yang dilakukan lembaga ini tahun lalu. Berdasarkan hasil survei LSI, dari 438 responden sebanyak 61,1 persen masyarakat Jakarta dapat memaafkan mantan Presiden Soeharto, tapi sebanyak 50,1 persen masyarakat tidak menginginkan proses hukum atas mantan penguasa Orba itu dihentikan.

"Setelah bertahun-tahun ternyata persepsi publik terhadap Soeharto mengalami perubahan yang signifikan. Sebab secara umum masyarakat untuk wilayah Jakarta, bisa memaafkan kesalahan Soeharto, kurang dari 25 persen yang tidak bisa memaafkan," ujar Direktur LSI Denny J.A kepada detikcom.

Ia juga mengatakan, sebagian besar publik memaafkan Soeharto lantaran masyarakat menilai jasa Soeharto lebih besar dibandingkan kesalahannya. Selanjutnya karena alasan kemanusiaan bahwa Soeharto tidak mampu lagi menjalani proses hukum.

Hebatnya lagi, dalam survei LSI tentang siapa mantan presiden RI yang paling berjasa terhadap bangsa Indonesia, Soeharto menduduki peringkat teratas sebagai presiden yang paling berjasa. Posisinya berada satu tingkat di atas mantan Presiden Soekarno. Sebab sang proklamator hanya menempati urutan kedua dalam survei tersebut.

"Dari beberapa survei yang kami lakukan ternyata masyarakat masih melihat Soeharto adalah presiden yang paling berjasa bagi pembangunan," kata Denny. Denny memperkirakan, masih tingginya popularitas Soeharto akibat perubahan publik mood, setelah bertahun-tahun sejak reformasi bergulir.

Sebab, ujarnya, pada saat reformasi dan orde lama, kondisi keamanan dan ekonomi terpuruk. Apalagi di era reformasi, semua harga melambung dan ledakan bom terjadi di mana-mana. Yang paling menyedihkan, beberapa pulau terpaksa harus lepas dari tangan saat reformasi.

Kondisi inilah yang membuat masyarakat menilai Soeharto sebagai presiden yang punya kemampuan dalam memimpin dan mengelola republik ini, dibanding presiden-presiden yang lain.

Mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sempat bilang, Soeharto punya 3 jasanya yang besar bagi negeri ini. Jasa-jasanya adalah, Soeharto mengajak bangsa untuk memperhitungkan segala sesuatu, merencanakan segala sesuatu, dan ketiga, Soeharto membuat rencana pembangunan yang bertahap sehingga bisa memperhitungkan target dan strategi.

Pastinya, menurut Denny J.A, masih tingginya popularitas Soeharto membuat nilai jual keluarga Cendana-sebutan rumah Soeharto-masih sangat tinggi di kancah politik nasional.

Dari penelitian LSI yang akan diumumkan beberapa hari ke depan, imbuh Denny, "darah biru" dari trah Cendana masih sangat mungkin bersaing dalam perebutan kekuasaan dalam pilpres mendatang. "Darah biru" yang dimaksudnya adalah Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut. mengapa Tutut? "Mungkin era-nya memang seperti itu,"tandas Denny.

Jatuhnya estafet kekuasaan keluarga ke anak perempuan sudah terjadi di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Di India misalnya, ada mantan Perdana Menteri Indira Gandhi. Ia adalah anak Jawaharlal Nehru yang juga bekas penguasa India.

Kalau di Paskitan ada Benazir Bhutto. Mantan Perdana Menteri Pakistan yang terbunuh 27 Desember lalu itu, adalah anak dari pemimpin Pakistan Zulfikar Ali Bhutto. Sedangkan di Indonesia ada Megawati, mantan presiden yang juga anak dari seorang pemimpin Indonesia, Soekarno. Maka tidaklah aneh, jika trah Cendana juga akan dipimpin Tutut, yang juga seorang perempuan.

Tutut, Putri Andalan Sang Jenderal

Siti Hardijanti Rukmana adalah anak sulung pasangan Soeharto dan Siti Hartinah atau Ibu "Tien". Ia disebut-sebut sebagai calon pengganti sang ayah di kancah politik nasional. Ketika Soeharto memimpin pemerintahan, Tutut memang telah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin.

Putri sulung Soeharto ini selalu terpublikasi masyarakat. Hampir tiap hari masyarakat Indonesia dapat menyaksikan Tutut di layar kaca sedang melakukan kegiatan yang bersifat sosial, berpidato, dan menebar senyuman.

Perempuan kelahiran 23 Januari 1949, ini pernah menjabat sebagai Menteri Sosial pada Kabinet Pembangunan VII yang merupakan kabinet pemerintahan Soeharto yang terakhir. Di samping sebagai politikus, Mbak Tutut juga dikenal sebagai pengusaha dan menjadi ketua maupun pelindung berbagai organisasi.

Gus Dur yang waktu itu saat masih menjabat Ketua Umum PBNU di zaman orde baru sempat menyebut Tutut sebagai pemimpin masa depan. Bakal moncernya nama Mbak Tutut di pentas politik nasional dianggap tidak lepas dari nama bapaknya.

Sedangkan sejumlah pengamat menilai, setidaknya ada tiga poin yang menguntungkan posisi Tutut, yakni pernah populer di masa Soeharto. Ia mengeluarkan berbagai terobosan yang membuat namanya dikenal dan dikenang oleh rakyat bawah. Kedua, ia adalah anak mantan Presiden Soeharto. Setidaknya beberapa penelitian dan komentar-komentar masyarakat belakangan membuktikan, ada kecenderungan masyarakat rindu pemerintahan Soeharto.

Kerinduan ini akibat pemerintahan di era reformasi tidak bisa menjamin stabilitas harga dan keamanan. Kondisi ini dianggap sebagai pemicu rindunya masyarakat ke pemerintahan rezim orde baru, meskipun otoriter dan kejam. Ini terlihat dengan duduknya Soeharto di peringkat wahid mantan presiden yang paling berjasa bagi bangsa versi Lingkar Survei Indonesia (LSI), tahun lalu.

Lembaga survei tersebut juga meneliti pendapat masyarakat tentang regenerasi kekuasaan di keluarga Soeharto. Hasilnya, survei LSI ini menunjukan, nama Tutut terpilih sebagai "darah biru" keluarga Soeharto. "Tutut lebih unggul dibanding anak-anak Soeharto yang lain. Hasilnya akan kita umumkan tiga hari ke depan," kata Direktur LSI Denny J.A kepada
detikcom.

Di keluarga Soeharto, ada beberapa nama yang potensial untuk berkiprah di ranah politik. Sebut saja Bambang Triatmodjo, Titiek Prabowo, dan Hutomo Mandala Putra (Tommy). Tapi tetap saja nama Tutut yang diunggulkan.

Alasan responden memilih Tutut, tambah Denny, karena Tutut selama ini aktif di sejumlah kegiatan sosial dan politik, baik saat orde baru hingga sekarang. Selain itu ia tidak pernah terbukti melakukan perbuatan tercela atau yang bisa merusak citranya. Modal-modal tersebut tentu sangat berguna bagi Tutut untuk melaju ke kancah politik nasional.

Sementara Bambang dan Tommy, pencitraannya kurang baik, setidaknya ini menurut responden yang dikumpulkan LSI. Tommy pernah meringkuk di penjara akibat kasus pembunuhan hakim agung Syafiudin Kartasasmita. Ia kemudian divonis pidana penjara 15 tahun penjara. Sementara Bambang popularitasnya terpuruk karena menikah lagi dengan Mayangsari.

Sementara Tutut, sekalipun pernah disebut-sebut melakukan korupsi, tapi belum pernah terbukti. Hal inilah yang membuat citranya lumayan bagus dibanding anak-anak Soeharto yang lain.

Bersihnya citra Tutut di masyarakat bisa meringankan langkahnya di dunia politik. "Bagi Tutut sangat mudah untuk masuk ke dalam kancah politik di Pemilu 2009. Ia punya modal yang cukup untuk itu. Tinggal mengolahnya saja," jelas Denny.

Ungkapan Denny bukan omong kosong. Soalnya, ketika Tutut dikabarkan maju dalam Pilpres 2004, beberapa kalangan sempat ramai membicarakan. "Ini berbahaya. Mereka itu potensial," begitu ucap Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia Prof Dr Maswadi Rauf dalam sebuah diskusi di Jakarta kala itu.

Kekhawatiran Maswadi lantaran keluarga Cendana dianggap memiliki kekuatan uang tanpa batas serta jaringan luas, baik di jajaran birokrasi maupun militer. Di lain pihak figur Tutut sendiri sangat populer di masyarakat. Penampilan Tutut yang selalu berkerudung melempar senyum, dan ramah, mudah diterima masyarakat.

Majunya Tutut ke Pemilu 2009 juga pernah diprediksi sebelumnya oleh pengamat politik dari CSIS, Indra J Piliang. Menurutnya, Mbak Tutut, tidak akan bertarung dalam Pemilu 2004, tapi dipersiapkan untuk Pemilu 2009.

Semakin meningkatnya popularitas Soeharto di masyarakat tentu berpengaruh terhadap jalan politik Tutut ke depan. Tapi apakah membaiknya popularitas Soeharto berpengaruh terhadap jalan politik Tutut?

Pisau Bermata Dua Cendana

Kesehatan Mantan Presiden Soeharto kini dalam kondisi sangat kritis. Trah keluarga Cendana akan kehilangan pemimpinannya jika Soeharto meninggal. Namun klan ini telah melakukan berbagai upaya agar bisa bertahan.

Jauh sebelum kondisi mantan presiden ini memburuk seperti tahun ini, Cendana telah melakukan upaya-upaya untuk memikat hati rakyat. Pada tahun 2006 misalnya, Cendana tampil di depan publik dengan diwakili sosok Titik. Pada 20 Mei tahun itu, putri keempat Soeharto ini menyumbang Rp 100 juta kepada warga Desa Tanjung, Kecamatan Muntilan, Magelang. Saat itu Soeharto terbaring lemah di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) setelah Kejagung menyatakan akan kembali memeriksanya.

Belum satu bulan dalam tahun yang sama, wajah Titik kembali muncul. Pada 2 Juni, ia mengunjungi korban gempa. Uang yang dibawanya kian tebal, Rp 1 miliar. Uang diserahkan kepada Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X. "Ini merupakan rasa keprihatinan bapak kepada Yogya dan Jawa Tengah. Walau dalam kondisi sakit, Bapak masih perhatian," kata Titik diplomatis usai memberikan bantuan.

Bersamaan dengan 'tebar pesona' yang dilakukan Titik, muncul pula sejumlah organisasi pendukung Soeharto. Sebut saja Ikatan Masyarakat Pecinta Soeharto (Imaha). Tidak hanya itu, spanduk yang berisi dukungan untuk Soeharto juga muncul di mana-mana.

Namun langkah Titik kemudian menjadi blunder setelah tampil sebagai presenter acara Piala Dunia. Penampilannya yang kaku dan canggung dikritik habis oleh pecinta bola. Maka Titik yang waktu itu seperti menggantikan peran Tutut sebagai juru bicara keluarga Cendana pun dinilai gagal. Masyarakat kemudian kembali menoleh kepada Tutut.

Perempuan berkerudung, dan murah senyum ini diakui banyak pihak sebagai orang yang paling tepat untuk memimpin trah Cendana setelah Soeharto. Dibanding adik-adiknya yang laki-laki seperti Bambang Trihadmodjo dan Hutomo Mandala Putra, citra Tutut memang relatif bersih.

"Tutut lebih unggul dibanding anak-anak Soeharto yang lain. Hasilnya akan kita umumkan tiga hari ke depan," kata Direktur LSI Denny J.A kepada detikcom.

Maka tidak heran bila dia kemudian digadang-gadang untuk maju ke kancah politik pada 2009. Bila benar Tutut akan terjun di panggung politik, dia akan berhadapan dengan anak-anak mantan presiden lainnya. Selain klan Soeharto, klan Soekarno dan Gus Dur juga sudah mempersiapkan putrinya. Gus Dur menunjuk Yenny Wahid. Megawati telah mengelus Puan Maharani.

Dibandingkan Yenny dan Puan, dari segi pengalaman, Tutut unggul pada pengalaman dan jaringan. Tapi Tutut belum memiliki kendaraan politik yang menyokongnya. Bila Puan memiliki PDIP dan Yenny dengan PKB-nya, tidak demikian dengan Tutut. Mantan Mensos ini tidak memiliki parpol resmi yang akan mengusungnya ke kancah politik.

Masalah parpol mungkin tidak akan terlalu menjadi batu sandungan Tutut. Bisa saja kemudian akan ada parpol yang menjagokannya pada Pilpres 2009. Hambatan Tutut yang lebih berat sebenarnya justru terletak pada masa lalu ayahnya.

Soeharto sebagai penguasa terlama negeri ini memang selalu menimbulkan pro kontra. Pendukungnya akan menonjolkan kebaikan dan jasa Soeharto. Sementara pihak yang menentang akan menyebutkan dosa-dosa Soeharto. Karena inilah nama Soeharto bagi Tutut ibaratnya pisau bermata dua. Di satu sisi, dia menguntungkan karena masih banyak pendukungnya. Namun di sisi lain juga merugikan, karena tidak sedikit pula yang membencinya.

Di saat Soeharto sakit parah dan kritis seperti sekarang, bisa saja pria yang berjuluk jenderal tersenyum itu mengundang simpati. Para pejabat dan mantan pejabat berduyun-duyun menjenguknya. Di beberapa daerah digelar doa bersama untuk mendoakan kesembuhan Soeharto.

Tapi tentu di sisi lain, tidak sedikit golongan masyarakat yang tidak akan lupa akan cacat kepemimpinan Soeharto. Misalnya kasus korupsi yang nilainya membuat Soeharto ditempatkan PBB sebagai pemimpin paling korup seduania. Tidak hanya itu, ada pelanggaran HAM di mana-mana yang diduga dilakukan Soeharto selama berkuasa.

Sebagian masyarakat bangsa ini tidak bisa dipungkiri memang ada yang merindukan kepemimpinan Soeharto sehingga mungkin akan mendukung Tutut sebagai penerus klan Cendana. Namun survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2006 memperlihatkan, mayoritas rakyat kurang berminat pada keluarga Cendana bila terjun ke dunia politik. Sebanyak 40 persen responden menyatakan Tutut dan Titik berkompeten menjadi orang yang kerjanya bagi-bagi bantuan alias sosial. Hanya 5 persen yang menyatakan klan Cendana cocok untuk kembali ke panggung politik.

4. Kronologi Kasus Hukum Soeharto (lampiran)

Soeharto tak pernah mampir ke pengadilan. Hampir 10 tahun berlalu, 4 presiden dan 8 jaksa agung gagal membawa Soeharto ke ruang sidang. Alasannya sama, ia sakit. Kejagung lalu melakukan cara lain untuk memperoleh kembali uang negara yang dikorupsi Soeharto lewat gugatan perdata. Tapi hingga Soeharto kritis pada 2008, belum satu sen pun uang itu kembali.

Berikut berbagai momen-momen penting pengusutan harta Soeharto berdasarkan affidavit (pernyataan di bawah sumpah) Otto Cornelis Kaligis dalam persidangan kasus yang melibatkan Tommy Soeharto di Royal Court Guernsey, Inggris pada 14-17 Mei 2007 lalu, dan hasil penelusuran detikcom:

1.
Pada 1 September 1998, Kejaksaan Agung memutuskan mengusut harta yayasan Soeharto.
2. Pada 15 September 1998, Pemerintah Indonesia menunjuk Jaksa Agung saat itu, Andi M Ghalib, sebagai ketua penyidikan kekayaan Soeharto.
3. Pada 29 September 1998, Kejaksaan Agung membentuk tim investigasi dan klarifikasi kekayaan Soeharto, yang diketuai jaksa Antonius Sujata.

4. Pada 29 Oktober 1998, tim yang diketuai Antonius Sujata itu mengunjungi perkebunan milik Soeharto di Tapos, Bogor.
5. Pada 2 Desember 1998, Presiden saat itu, BJ Habibie, mengeluarkan Keppres 30/1998 tentang cara penyidikan kekayaan Soeharto.
6. Pada 5 Desember 1998, Jaksa Agung mengeluarkan surat panggilan untuk Soeharto.

7. Pada 9 Desember 1998, tim dari Kejaksaan Agung memeriksa Soeharto terkait dakwaan korupsi.
8. Pada 30 Mei 1999, Jaksa Agung saat itu, Andi Ghalib, dan Menteri Hukum saat itu, Muladi, berangkat ke Swiss untuk mengusut dugaan Soeharto menyimpan uang US$ 9 miliar di Bank Swiss.

9. Pada 11 Juni 1999, Andi Ghalib dan Muladi mengeluarkan laporan pengusutannya, yang ternyata tidak menemukan adanya aset Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.
10. Pada 11 Oktober 1999, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Soeharto karena tidak ada bukti memadai.
11. Pada 6 Desember 1999, Presiden saat itu, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, mengusut kembali kekayaan Soeharto dan menunjuk Jaksa Agungnya, Marzuki Darusman, memulai penyidikan lagi atas Soeharto.

12. Pada 29 Desember 1999, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak gugatan pra-peradilan yang meminta pengadilan membatalkan SP3 Soeharto.
13. Pada 14 Februari 2000, Kejaksaan Agung mengeluarkan surat panggilan pemeriksaan Soeharto.
14. Pada 16 Februari 2000, Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk tim kesehatan memeriksa Soeharto.

15. Pada 31 Maret 2000, Soeharto diumumkan terlibat penyalahgunaan dana yayasan.
16. Pada 3 April 2000, tim dari Kejaksaan Agung mendatangi kediaman Soeharto untuk memeriksa Soeharto.
17. Pada 13 April 2000, Soeharto menjadi tahanan kota.

18. Pada 29 Mei 2000, Soeharto menjadi tahanan rumah.
19. Pada 7 Juli 2000, Jaksa Agung mengeluarkan perpanjangan tahanan rumah Soeharto.
20. Pada 15 Juli 2000, Jaksa Agung menyita aset dan rekening beberapa yayasan.
21. Pada 8 Agustus 2000, Jaksa Agung menyerahkan berkas kasus ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

22. Pada 23 Agustus 2000, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan sidang Soeharto diadakan 31 Agustus 2000.
23. Pada 31 Agustus 2000, Soeharto tidak menghadiri sidang. Dokternya menyatakan Soeharto sakit dan majelis hakim mengirimkan surat meminta dokter menjelaskan kesehatan Soeharto.

24. Pada 23 September 2000, Soeharto masuk RS Pertamina dan hasil pemeriksaan dokter menunjukkan Soeharto memiliki masalah syaraf dan mental dan sulit berkomunikasi.
25. Pada 29 September 2000, majelis hakim PN Jakarta Selatan menetapkan sidang tak diteruskan dan harus dihentikan.
26. Pada 11 Mei 2006, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan SP3 Soeharto.

27. Pada 5 Juni 2006, Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas), Asosasi Penasihat Hukum dan HAM (APHI) dan Komite Tanpa Nama, mengajukan gugatan praperadilan atas Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) mantan Presiden Soeharto.
28. Pada 12 Juni 2006, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan membatalkan SKP3 Soeharto dan menyatakan tuntutan atas Soeharto harus dilanjutkan
29. Pada 1 Agustus 2006, Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan SKP3 Soeharto sah menurut hukum.

30. Pada 9 Agustus 2007, sidang perdata kasus Soeharto digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kejagung melakukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar atas perbuatan melawan hukum. Kejagung menuntut ganti rugi materiil sebesar 420 juta US$ dan Rp 185 miliar serta immateriil sebesar Rp 10 triliun.
31. Pada 30 Agustus 2007, majelis hakim kasasi Mahkamah Agung memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah Time Asia.
Time diharuskan membayar ganti rugi Rp 1 triliun dan meminta maaf kepada publik.

(Lampiran wawancara soal Soeharto)

Mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh:

Soeharto Meninggal, Pidananya Gugur, Perdata Tetap Jalan

Abdul Rahman Saleh mengeluarkan Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3) untuk kasus pidana mantan Presiden Soeharto. Langkah pria kelahiran pekalongan 1 april 1941 kontan banyak menuai kritik pedas.

Banyak yang menilai SKP3 merupakan bentuk tekanan dari Presiden SBY. Namun dengan tegas Abdul Rahman Saleh menjawab semua pernyataan miring mengenai kebijakan yang diambil saat menjabat sebagai jaksa agung. .

Ditemui di rumahnya yang berpagar coklat di bilangan Pejaten - Jakarta Selatan, Abdul Rahman Saleh , dengan berpakaian santai usai salat maghrib menjelaskan duduk perkara kasus Soeharto yang sebenarnya. Berikut petikan hasil wawancara reporter detikcom, Ronald Tanamas dengan Antasari Azhar :

Bagaimana anda melihat perkembangan kasus Soeharto sekarang ini terkait kondisi kritisnya?


Saya melihat banyak orang asal bicara dan tidak mengetahui duduk perkara dari kasus Soeharto sebenarnya.

Seperti apa anda menilai kasus Soeharto pada saat anda menjadi Jaksa Agung?

Jadi pada saat saya masuk ke kejaksaan agung kasus Soeharto memang sudah ruwet ya. Karena setelah saya cek di file-file kasus Soeharto sudah disidangkan pada tahun 2000. Tapi ternyata setiap kasus ini dibawa ke pengadilan itu selalu dikembalikan. Dengan alasan orang ini sakit. Ada surat keterangan dari dokter yang menjelaskan sakit Soeharto. Jika di bahasa Inggris kan namanya home sick distance trail itu. Di perkirakan
dalam beberapa tahun itu sudah 3 kali minimal kasus ini dikembalikan dari pengadilan.

Kemudian saya sebagai jaksa agung harus bersikap karena sudah berlarut-larut kan ditambah ada dukungan dari mahkamah agung yang mengatakan, kalau selama dia sakit, itu tidak bisa diadili. Jadi memerintahkan kepada jaksa agung untuk melaksanakan pemeriksaan setelah sembuh dulu.Tapi karena ada surat dari tim dokter independen yang 4 orang itu, dengan didukung teknologi yang modern sampai saat ini mengatakan kalau penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Karena nama penyakit Soeharto adalah kerusakan otak yang permanen.

Jadi karena bolak-balik terus saya harus bersikap dong sekaligus memenuhi standar hak asasi universal (berlaku untuk siapapun).Saya berprinsip kalau orang sakit itu tidak bisa dibawa ke sidang pengadilan. Di situ pula saya tidak mengerti orang selalu bilang in absentia, lama-lama orang mati pun dibilang ini absentia kan? Dokter yang menangani ini ada berpuluh-puluh, ditambah semua profesor yang ada di negara ini mengatakan dia sakit. Dia hanya memahami perintah-perintah yang sederhana dengan dakwaannya 60
halaman lebih yang minimal 1 saksi dan 1 pasal.

Lantas apa yang anda lakukan setelah mengetahui ?

Saya mengambil langkah SKP3 ( Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan ).

Alasan anda mengeluarkan SKP3 ?

Karena kasus ini selalu dikembalikan oleh pengadilan. Bahkan saya dengar terakhir oleh pengadilan Jakarta Selatan berkasnya disuruh di bawa. Kok malah sebagian orang mengatakan ini surat perintah penghentian penyidikan (SP3), ya salah. Kenapa salah ? Karena perkaranya sudah pernah disidangkan, namun Pak Harto tidak pernah hadirkan. Jadi sudah lewat masa penyidikan. Masalahnya tidak bisa dilanjutkan sidangnya karena berita perkaranya tidak bisa di bacakan. Kenapa tidak bisa dibacakan karena orangnya tidak ada, sedang sakit. Jadi saya perintahkan kepada kejaksaan Jakarta Selatan untuk mengeluarkan SKP3 itu.

Didalam KUHAP SKP3 ini nanti bisa dibuka lagi, kalau orangnya sembuh. Setelah saya keluarkan itu ternyata dimakan oleh LSM dibilanglah macam-macam sehingga muncul pra peradilan. Pra peradilan itu dikabulkan dan di anggap tidak sah. Kemudian saya banding ke Pengadilan Tinggi. Pengadilan Tinggi membatalkan keputusan dari pengadilan Jakarta Selatan dan menyatakan sah. Maksudnya adalah Soeharto tidak mungkin untuk disidangkan.

Lantas bagaimana jika Soeharto meninggal ?

Gugur perkara pidananya dan ini sudah menjadi ketetapan hukum yang berlaku.

Kabarnya anda mengeluarkan SKP3 karena ada tekanan dari SBY ?

Omong kosong semuanya. Karena esoknya Pak SBY melihat respon masyarakat yang begitu luas saat berpidato dan sebagai penaggung jawab politik tertinggi minta untuk di endapkan. Tapi yang saya maksudnya tidak putus, nyambung perkaranya. Karena perkara adalah wewenang pengadilan dan Pak SBY patuh pada pengadilan.

Seharusnya seperti apa sikap jajaran dari pemerintah dan lapisan masyarakat lainnya terhadap kasus hukum Soeharto ini ?

Semua harus patuh hukum. Kasus ini bisa dibuka kembali jika ada keterangan dari tim dokter yang mengatakan Soeharto sembuh. Sekarang kenyataannya apa bisa sembuh? Malah makin bertambah parah.

Banyak orang yang mengeritik anda di dalam mengambil sebuah kebijakan,
apakah anda merasakannya ?


Saya akan bersifat fair dan profesional jika ada yang tidak suka dengan saya di dalam mengeluarkan SKP3 , silahkan ambil langkah hukum . Sudah diambil kan, yang menentukan pengadilan sehingga keluar praperadilan yang akhirnya diputuskan oleh pengadilan tinggi.
Sekarang orang banyak ribut untuk cabut, apa yang musti dicabut? Kan pengadilan sudah bilang sah.

Bagaimana pendapat anda mengenai komentar Hendarman Soepandi yang menawarkan win-win solution untuk kasus perdata Soeharto ?

Hedarman jaksa agung sekarang bisa apa. Ini kasus perkara perdata. Setiap perkara itu ada 2 aspek pidana dan perdata. Jadi setelah saya mengeluarkan SKP3 saya juga langsung proses perdatanya karena saya sudah dapat surat kuasa dari pak SBY. Namun karena belum sempat saya bawa ke pengadilan dan kebetulan ada pergantian jaksa agung maka dia langsung membawa kasus perdatanya ke pengadilan melalui surat kuasa dari SBY untuk saya.

Kalau Soeharto meninggal kasus pidananya gugur, bagaimana dengan perdatanya ?

Perdatanya tetap jalan terkecuali ada perdamaian untuk mencabut perkaranya.

Artinya Tap Mpr no 11 tahun 1998 yang diributkan dicabut sebenarnya tidak berfungsi untuk kasus ini ?

Iya, kalau kroninya mau diusut silahkan saja. Tapi tidak untuk kasus Soeharto karena sudah disahkan oleh Pengadilan Tinggi.

Ketua KPK Antasari Azhar:

Saya Keberatan Dikatakan Tak Serius Soal Soeharto

Serangkaian kontroversi mengiringi pengangkatan Antasari Azhar sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia diragukan komitmennya dalam penegakan pemberantasan korupsi. Sejumlah isu tidak sedap mencuat terkait jabatan sebelumnya sebagai jaksa penyidik di Kejaksaan Agung.

Sebagai jaksa, Antasari memang menangani kasus-kasus kelas kakap. Sebut saja kasus korupsi Soeharto dan putranya, Hutomo Mandala Putra. Nah saat Antasari menjadi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Selatan, Tommy melarikan diri. Saat itu Tommy akan dieksekusi terkait putusan 18 bulan pejara korupsi dalam kasus tukar guling Bulog-PT Goro Batara Sakti (GBS). Maka isu pun beredar, Antasari telah membantu pelarian Tommy.

Kini pria kelahiran Pangkal Pinang, Bangka, 18 Maret 1953 telah menjadi Ketua KPK. Banyak kalangan tetap meragukan komitmennya. Bahkan sejumlah pihak menilai, Antasari dipilih menjadi Ketua KPK karena membawa pesan sponsor partai.

Bagaimana Antasari menghadapi isu-isu tersebut? Gebrakan apa yang akan diambil Antasari sebagai Ketua KPK? Lalu bagaimana sikapnya terhadap kasus Soeharto? Berikut wawancara reporter detikcom, Ronald Tanamas dengan Antasari Azhar di lantai 3 Gedung KPK, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan:


Kenapa saat ini (Januari 2008) anda sangat sulit sekali memberikan statement kepada wartawan ?

Bukannya sulit tapi memang saya sengaja, karena sekarang saya tidak mau banyak berkata-kata daripada bertindak. Anda mengerti maksud saya.

Setelah menjadi ketua KPK yang baru, tanggung jawab seperti apa yang ingin anda tunjukkan untuk diri anda dan publik ?

Saya ingin semuanya berjalan apa adanya tidak ada rekayasa. Dan saya akan fungsikan lembaga ini sesuai dengan porsinya.

Apakah KPK akan transparan di dalam membongkar korupsi ?

KPK akan melakukan hal tersebut. Kalau seandainya ada yang tidak transparan silakan lapor ke saya langsung.

Bagaimana dengan kendala yang ada di dalam KPK sendiri ?

Tidak ada yang berarti. Saat ini untuk prosedurnya masih mengikuti aturan yang lama. Dan pemimpin KPK saat ini bukan hanya saya saja tapi ada 4 orang lainnya yang juga bisa diminta keterangannya.

Saat ini perkara apa saja yang dalam waktu dekat menjadi prioritas KPK?

Semua perkara yang sedang bergulir dan akan digulirkan nantinya. Tapi maaf saya tidak bisa memberikan keterangan kepada media perkara apa saja yang dalam waktu dekat akan digulirkan.Karena ini merupakan prosedur dari KPK.

Untuk kasus Soeharto yang belum tuntas sampai saat ini, bagaimana anda menilainya ?

Kasus Soeharto sudah ditangani Kejaksaan Agung. Sedangkan KPK berdiri setelah Soeharto lengser dan bertujuan menangani kasus korupsi yang sedang bergulir. Anda mengerti maksudnya.

Anda juga dianggap tidak serius menangani kasus korupsi Soeharto?

Saya keberatan dikatakan tidak serius. Yang tidak selesai itu di penuntutannya, di mana Pak Harto tidak hadir di sidang karena sakit. Waktu itu saya di Kejaksaan Agung sebagai penyidik, dan penyidikannya selesai. Saya memang memfasilitasi, membawa Soeharto ke rumah sakit.

Lalu bagaimana dengan isu anda yang membantu pelarian dari putra kesayangan Soeharto sendiri ?

Waktu itu saya panggil jaksa penuntut. Saya bilang ini putusan, laksanakan. Sorenya kami ke Jalan Cendana (mencari Tommy ke rumah Soeharto). Untuk mengecek Tommy sudah menerima putusan pengadilan atau belum. Ternyata, Tommy tidak ada di tempat. Nah, muncullah kabar saya melarikan Tommy.

Lantas bagaimana tentang keraguan dari sebagian masyarakat terhadap kinerja kerja anda ?

Saya harus bicara apa jika ada yang beranggapan seperti itu terhadap saya. Saya hanya menyerahkan semuanya kepada Allah SWT untuk menjawab itu. Yang jelas saya akan bekerja secara maksimal dan membuktikan dengan tindakan saja.

Bagaimana dengan isu anda sering menerima suap ?

Itu juga tidak benar. Karena anggapan seperti inilah maka saya memutuskan untuk tidak banyak bicara di media. Saya hanya ingin tunjukkan lewat kerja saya saja saat ini. (ron)

Tidak ada komentar: