Selasa, 29 April 2008

Makhluk Tuhan Paling Tolol

Saya tahu banyak orang yang menganggap saya tolol. Ada yang mengatakannya langsung, bahkan menghardikkannya di muka saya. Ada juga yang hanya membatinnya ketika bertemu saya. Saya kadang sadar juga, saya memang tolol, hehehehe.

Begitu curhat Jeng Jeni dalam blog pribadinya. Di blog itu, perempuan yang setiap hari naik buskota itu, juga mengaku ia sebenarnya stres menghadapi ketololannya, apalagi saat sadar banyak sekali orang yang pintar dan hebat-hebat. "Tapi ketika saya amat-amati lagi, di sekeliling saya, ternyata ada juga loh orang tolol. Jadi saya pikir, saya tidak perlu terlalu stres atau jadi sangat minder, karena saya tidak sendirian menjadi orang tolol," bela Jeng Jeni.

Meski sadar dirinya tolol, Jeng Jeni masih saja sewot bila dikatai tolol. Terlebih kalau hatinya sedang tidak bolong. Saat bersantai, Jeng Jeni menyinggung soal ketololannya dengan sang suami tercinta. Hiroku, putra pasangan ini, sedang asyik membaca komik Digimon.

"Baguslah kamu sebagai orang tolol menyadari ketololannya," kata Mas Hari, suami Jeng Jeni. Mendengar jawaban itu, Jeng Jeni mendelik. Tapi kemudian tersenyum karena tahu sang suami sedang meledek. Ia lalu mengambil novel 'Snow" karya Orhan Pamuk dari rak buku.

“Orang paling tolol adalah orang tolol yang tidak mau menyadari ketololannya. Mereka inilah makluk Tuhan paling tolol,” lanjut Mas Hari asal. "Apa sebenarnya yang membuat negara ini terpuruk dan kacau balau, Jeng?" tanya Mas Hari sambil menata koleksi kaset VCD dan DVD bajakan miliknya. "Pemimpin yang tidak tegas dan tidak cerdas," jawab Jeng Jeni ogah-ogahan. Perempuan ini sedang tidak tertarik mengobrol lagi karena tengah terhanyut membaca Snow.

"Yang membuat negeri ini makin terpuruk dan kacau balau adalah banyaknya orang-orang tolol berbicara," kata Mas Hari. Jeng Jeni paham apa yang dimaksud suaminya. Di halaman awal 'Snow', Pamuk yang menerima nobel sastra pada 2006 mengutip tulisan Fyodor Dostoevsky, "jika begitu singkirkan saja manusia, batasi tindakan mereka, paksa mereka untuk diam."

Jeng Jeni ingin mengutip kata-kata itu dan mengubah kata 'manusia' dengan kata 'orang tolol'. Tapi ia mengurungkannya karena ia ingat, ia juga mengaku sebagai orang tolol. Ia lantas berkata, "Namanya juga demokrasi Mas. Semua orang ya bebas ngomong."

"Memang sih demokrasi. Sebenarnya tidak terlalu jadi masalah kalau orang-orang tolol itu bukan seorang tokoh atau orang yang punya kekuasaan. Tapi masalahnya mereka tokoh, dan omongannya diperhatikan pengikutnya, bahkan disorot TV dan dimuat media massa."

"Iya memang. Aku juga gemas sekali kalau lihat orang-orang tolol ini berkomentar di TV. Mereka mengira diri mereka pintar dan bisa membodohi masyarakat. Padahal komentarnya justru menunjukkan ketololannya." Jeng Jeni mulai bersemangat. Snow yang dibacanya lantas ditutup.

"Misalnya ada pejabat yang diduga korupsi ditangkap. Ia lantas mengklaim uang yang disita sebagai barang bukti itu bukan uang suap, tapi uang untuk bisnis. Ada juga yang beralasan uang puluhan juta ditenteng-tenteng hingga tengah malam itu uang pinjaman. Emangnya kita bisa apa dibodohi dengan alasan tolol seperti itu?" ketus Jeng Jeni.

"Terus ada juga tokoh yang sudah kakek-kakek, dibenci masyarakat, bahkan orang-orang bersuka cita ketika dia tidak lagi menjabat, tiba-tiba saja muncul dan dengan pedenya ingin tampil kembali di dunia politik. Apa masyarakat tolol sehingga lupa dengan semua omong kosongnya? Hari gini gitu loh masih mau omong kosong," cerocos Jeng Jeni.

"Yang menyebalkan tokoh tolol ini tidak mau menyadari ketololannya suka ngotot dan ngeyel saja bahkan melakukan pemaksaan sehingga jadi arogan. Mereka marah jika dikritik. Padahal jelas-jelas mengeluarkan pendapat atau kebijakan yang tolol dan merugikan rakyat. Saking arogannya mereka malah balik menyalahkan dan mengancam pengkritiknya," ulas Mas Hari, si dosen itu.

"Arogan itu apa sih bu?" tanya Hiroku yang masih TK. Jeng Jeni mikir-mikir dan lantas menjawab sebisanya. "Arogan itu maunya menang sendiri, tidak mau mengalah, merasa paling benar, tidak mau disalahkan, bahkan sukanya menyalahkan orang lain," jawab Jeng Jeni.

"Wah kalau itu mah ayah," celetuk Hiroku. "Iya, kalau di rumah ini memang ayahlah makhluk Tuhan paling arogan," jawab Jeng Jeni tersenyum senang. "Aku sih belum ada apa-apanya. Tuh di Senayan parah habis arogannya. Anggotanya banyak ditangkap karena korupsi kok malah ingin membubarkan lembaga pemberantasan korupsi. Kuwalik-walik tenan," balas Mas Hari.

:detikcom 28/04/2008 13:11

Tidak ada komentar: