Kamis, 03 April 2008

Subhanallah Hingga Nauzubillah

Akhir-akhir ini ada kecenderungan elit politik memakai idiom-idiom yang membawa-bawa nama Tuhan. Terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengucapkan kata subhanallah dan nauzubillah.

Seorang kawan saya yang non muslim dan tinggal di Bali menanyakan apakah arti nauzubillah sebenarnya. Ia menebak-nebak kata nauzubillah sama arti dengan kata amit-amit jabang bayi. Saya pun tergelak.

Sebagai seorang muslim, saya memang sudah akrab dengan kata-kata nauzubillah. Kata itu biasanya diucapkan seseorang jika kaget atau tidak terima dengan sesuatu yang dikatakan buruk atau tidak benar tentang dirinya.

Kata nauzubillah berasal dari bahasa Arab. Tapi kata itu telah diserap dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus besar bahasa Indonesia terbitan 1991, disebutkan nauzubillah merupakan kata seru untuk menyatakan rasa kaget atau terkejut. Makna sebenarnya kata nauzubillah adalah kami berlindung kepada Allah.

Presiden SBY seperti dikutip Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi misalnya mengucapkan kata nauzubillah karena tidak terima diberitakan telah menolak bertemu dengan Amien Rais cs. Selain mengucapkan kata nauzubillah, SBY juga mengucapkan subhanallah yang artinya maha suci Allah.

Sebelumnya kata nauzubillah juga diintrodusir Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir. SB, sapaan akrab Soetrisno, mengambil kata itu untuk menanggapi tuduhan dirinya menghamili penyanyi Pradnya Paramitha, istri Gustiranda.

Apa sih yang ingin ditampilkan oleh para elit politik dengan menyitir bahasa Arab itu? Teman saya beranggapan dengan menyitir bahasa Arab (terlebih mayoritas warga Indonesia adalah muslim), para elit itu terlihat lebih religius, sehingga ungkapannya akan lebih gampang dipercaya masyarakat dan tidak dikritisi lagi. Apakah benar demikian?

Kata Mochtar Pabottingi, bahasa bukanlah semata-mata alat komunikasi antara penguasa dengan rakyatnya. Tapi juga sarana strategis untuk berkuasa. Bahasa adalah ekspresi kekuasaan.

Sedikit menengok sejarah, Soeharto pernah dengan "pandainya" memanfaatkan bahasa menjadi ruang bagi pagelaran kekuasaanya. Lewat bahasa, penguasa Orba itu memproduksi simbol-simbol sebagai upaya mengkonsolidasi kekuasaaannya.

Soeharto mempopulerkan kata seperti subversif, OTB, PKI, ekstrim kanan, ekstrim kiri yang dikesankan sebagai "kejahatan" sehingga masyarakat pun menjadi takut mendengar kata itu.

Soeharto juga mengembangkan bahasa topeng, dengan melakukan penghalusan semantik sehingga meski terasa enak dan baik tampaknya, tapi kebenaran yang sesungguhnya tertutupi. Soeharto misalnya menyebut pelacur sebagai tuna susila, orang yang tidak memiliki rumah sebagai tuna wisma dan seterusnya.

Gaya topeng ini telah mengakibatkan pembusukan moralitas. KKN merupakan salah satu akibat paling kongkret dari gaya topeng ini.

Lalu apa agenda SBY mengintrodusir kata-kata yang membawa-bawa nama Tuhan? Apakah SBY ingin mengadopsi gaya topeng Soeharto, membawa-bawa nama Tuhan untuk menumpulkan kekritisan atas tindakan dan kebijakannya?

Jika demikian agenda SBY, tentu penyitiran kata-kata yang berbau religius tidak bisa dianggap remeh. Jangan sampai, seperti kritikan Sigmun Freud, agama hanya dijadikan pelarian dari realitas bangsa yang serba kesusahan. Karena yang namanya pelarian, sekalipun ke surga, tetaplah pelarian.

:dimuat di detikportal 26/04/2006 17:58

2 komentar:

Unknown mengatakan...

jangan berprasangka buruk...nggak baik tuh

Arang Putih mengatakan...

kalau arti kata suudzon apa ya?