Rabu, 12 September 2007

Gempa & Kesadaran Melawan Lupa

Gempa berkekuatan 7,9 skala Richter mengguncang Provinsi Bengkulu, Rabu, 12 September pada pukul 18.10 WIB. Akibat gempa itu puluhan gedung baik rumah, kantor pemerintah dan Rumah Sakit rusak berat. Menurut Departemen Sosial, hingga Kamis, 13 September, jumlah korban tewas tercatat 6 orang.

Setelah gempa yang terjadi pada Rabu sore itu, gempa susulan terus terjadi sambung menyambung. Hingga pukul 11.22 WIB, tercatat gempa yang menggoyang Pulau Sumatera berjumlah 31 kali. Jumlah itu terhitung selama 17 jam sejak gempa Bengkulu terjadi.

Menurut Kasubid Informasi Dini Gempa Bumi Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Budi Waluyo, gempa-gempa dengan kekuatan cukup besar terjadi di Pulau Sumatera karena daerah Mentawai mengalami tegangan besar atau stress setelah gempa di Aceh dan Nias pada 2004.

Tegangan itu terjadi akibat tumbukan lempeng di Indo-Australia dan Eurasia. Nah, akibat stress itu, terjadinya gempa, baik yang berpotensi tsunami ataupun tidak, hanyalah soal menunggu waktu. Apalagi Indonesia adalah daerah yang memang rawan gempa.

Sayangnya kesadaran bahwa Indonesia adalah daerah rawan gempa ini belum banyak dipunyai oleh warga Indonesia.

Bila Milan Kundera menyatakan, perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa. Maka, bisa jadi soal gempa, bangsa ini adalah bangsa yang mudah lupa.

Memang kita masih ingat, gempa besar telah meluluhlantakkan Yogyakarta. Dan sebelumnya tsunami telah memporakporandakan Aceh. Namun ingatan itu hanya sebatas ingatan pada bencananya. Sementara untuk waspada akan datangnya kembali bencana, kita lupa. Begitu bencana berlalu, sering kita menganggap musibah pun hilang sudah. Kita abai bahwa bencana berpeluang besar untuk kembali datang.

Bisa saja kita berapologi, kita telah melakukan antisipasi. Misalnya, pascatsunami, BMG memasang enam sirene pendeteksi peringatan dini tsunami (Tsunami Warning system/TWS) di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Namun harus diketahui sejak dipasang, sirene itu belum pernah diujicobakan. Hingga akhirnya pada bulan April lalu sirine itu tiba-tiba bunyi padahal tidak ada tsunami. Alat itu tiba-tiba bunyi karena kerusakan pada software dan hardware sistem sirene. Itu terjadi karena alat itu kurang dirawat.

Selain lupa merawat, karena kurangnya pengetahuan, warga pun suka ceroboh. Contohnya, salah satu instrumen TEWS, yakni Buoy hampir hilang karena kabelnya diputus nelayan setempat. Alat seharga Rp 4,4 miliar itu dianggap mengganggu nelayan dalam mencari ikan.

Begitulah wajah bangsa kita. Sering kena bencana, tapi acapkali lalai untuk waspada.

detikcom, 13 September 2007

Tidak ada komentar: