Jumat, 21 September 2007

Soeharto: Sindrom Capek Deh!

Kasus korupsi Soeharto kembali menjadi sorotan. Media massa selama berhari-hari menjadikan mantan presiden ini sebagai berita utama. Berita diawali dengan pengumuman PBB dan Bank Dunia yang menobatkan pria tua ini sebagai pemimpin negara yang paling korup di dunia.

Dalam versi PBB dan Bank Dunia, Soeharto yang belum pernah berhasil diadili di negaranya adalah orang yang paling banyak mencuri aset negara. Selama 32 tahun berkuasa, 1965-1997, ia telah menggondol aset negara sebesar US$ 15-35 miliar atau Rp 140-330 triliun.

Uang negara yang dicolong Soeharto jauh-jauh melebihi 9 kepala negara lainnya yang juga masuk dalam daftar pencuri aset negara yang dilansir PBB dan Bank Dunia.

Bandingkan dengan Ferdinan Marcos, mantan Presiden Filipina, yang berada di urutan kedua. Marcos dituding PBB mencuri aset negara US$ 5-10 miliar. Itu berarti hanya sekitar sepertiganya dari uang yang dituduhkan dicolong Soeharto.

Sementara Mobutu Sese Seko (Zaire) di nomor tiga, mengkorupsi US$ 5 miliar. Posisi selanjutnya, Sani Abacha (Nigeria) US$ 2-5 miliar. Slobodan Milosevic (Serbia/Yugoslavia) US$ 1 miliar. Jean Claude Duvalier (Haiti) US$ 300-800 juta. Alberto Fujimori (Peru) US$ 600 juta. Pavio Lazarenko (Ukraina) US$ 114-200 juta. Arnold Aleman (Nikaragua) US$ 100 juta. Dan posisi 10 Joseph Estrada (Filipina) US$ 70-80 juta saja.

Pencantuman nama Soeharto sebagai presiden terkorup bisa jadi tidak lagi mengejutkan. Sudah lama warga negara ini sangat-sangat tahu, penguasa Orde Baru itu didakwa melakukan korupsi. Jumlah yang dikorupsi juga disadari sangatlah besar. (Bagaimana tidak besar, wong dia menjadi presiden selama 32 tahun dan bersikap diktator. Tidak ada satu pun waktu itu yang berani menentang Soeharto sampai ia dijatuhkan pada 1998).

Namun tindakan PBB menjadikan Soeharto buron nomor wahid dan membentuk prakarsa antikorupsi lewat Stolen Asset Recovery Innisiative (StAR) menerbitkan sebuah harapan, bahwa pada suatu hari nanti, kasus korupsi Soeharto akan bisa dibuktikan. Dengan demikian, Soeharto, keluarga dan kroninya bisa mendapatkan hukuman setimpal. Alias keadilan hukum berhasil ditegakkan.

Harapan itu tentu saja tidak berlebihan. Apalagi bila berkaca pada keberhasilan negara lain. Negara tetangga, Filipina, telah sukses menghukum mantan presidennya yang terbukti korup. Estrada diganjar hukuman seumur hidup oleh pengadilan Filipina. Padahal ia hanya berada di posisi 10 dalam list PBB.

Kemudian Nigeria juga berhasil membawa pulang uang yang dikorupsi mantan Presiden Abacha (almarhum) US$ 3 miliar dari total US$ 6 miliar.

Kalau Filipina dan Nigeria saja bisa berhasil, mengapa kita tidak? Begitu kan logika gampangnya. Namun baru saja harapan itu muncul, kekecewaan pun harus ditelan. Pasalnya, belum apa-apa, sejumlah lembaga yang kompeten kurang menyambut baik informasi PBB. Jaksa Agung Hendarman Supandji kurang tertarik dengan data tersebut. Tim Pemburu Koruptor menyatakan data PBB itu sumir.

Lagi-lagi kita seperti dihadapkan pada tembok. Kembali disadarkan pada kenyataan betapa sulitnya mengadili Soeharto. Telah 9 tahun sejak ia jatuh, ia tidak berhasil disentuh. Meski sering terlihat ‘baik-baik’ saja dan mampu meberikan kuasa pada pengacaranya, Soeharto tidak bisa diseret ke pengadilan. Koor kerusakan otak permanen selalu terdengar bila si kakek itu akan diadili.

Rakyat pun akhirnya mahfum, bosan dan sudah seperti tahu sama tahu, mengadili Soeharto hanya akan memunculkan sindrom capek deh. Berharap terlalu banyak namun ujungnya itu-itu saja. Gagal.

Padahal kalau mau obyektif, mengadili dan mengambil kembali uang yang dikorupsi Soeharto bukanlah hal sulit. Kasus Soeharto sebenarnya mirip dengan Abacha.

“Kita punya masalah sama: kita cenderung memberi hormat kepada orang yang justru tidak layak dihormati. Kamu melecehkan diri mu, kamu melecehkan kebijakanmu!” kata Mallam Nuhu Ribadu.

Ribadu yang adalah Ketua Eksekutif Economic and Financial Crimes Commission (EFCC), yang berhasil membawa pulang harta jarahan para koruptor asal Nigeria senilai miliaran dolar Amerika.

Menurut Ribadu, masalahnya hanya soal kemauan politik dan butuh orang yang berani. Dan dua hal inilah tampaknya tidak dimiliki Indonesia.

Presiden SBY memang memberikan tanda positif. Ia katanya akan bertemu dengan Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick di New York untuk minta penjelasan soal aset yang dicuri Soeharto.

Namun belum lama ini SBY dan Ibu Ani tampak sangat ramah dengan cucu Soeharto. Kepada Wiratama Hadi Prananto, putra tunggal pasangan Siti Hutami Adiningsih dan Pratikno Singgih yang terpilih menjadi anggota Paskibraka untuk upacara 17 Agustus lalu, SBY mengirimkan salam untuk Soeharto. Ingat, salam biasanya dikirimkan kepada orang dekat, orang yang disukai atau orang yang dihormati. Bukan rahasia lagi kalau SBY pernah menjadi ajudan Soeharto.

Dengan latar belakang seperti itu, kemauan politik dan keberanian SBY pun wajar-wajar saja jika diragukan. Apalagi bila setelah bertemu dengan Presiden Bank Dunia tidak ada perkembangan signifikan. Hal itu akan semakin menguatkan kasus Soeharto memang sengaja dipersulit, diperumit dan disusah-susahkan. Tujuannya jelas, agar kasus berlarut-larut dan tidak selesai-selesai. Capek deh!

Tidak ada komentar: