Rabu, 12 September 2007

Orang Suci dan Epilepsi

Sekte itu bernama Opus Dei. Sebagian besar Katolik termasuk Vatikan mengutuk keras mereka. Tapi sekte dalam gereja Katolik itu bisa tumbuh bebas, bahkan bisa membangun kantor megah di tengah Kota New York.

Pemerintah ataupun aparat setempat membiarkan saja kantor pusat Opus Dei yang menghabiskan dana 47 juta dolar. Padahal sekte yang makin mendunia berkat novel
The Davinci Code karya Dan Brown itu dicurigai melakukan kegiatan cuci otak sampai penistaan jasmaniah.

Di sini, keyakinan dan kejahatan disamakan, sama-sama dibui. Begitulah gugatan Lia Eden setelah ditahan di Polda Metro Jaya. Di sini memang, penangkapan terhadap kelompok yang dianggap aneh hampir seperti menjadi tradisi, berulang dan terjadi lagi.

Sebelum Lia, penangkapan dilakukan terhadap ustad Yusman Roy yang mengajarkan salat dua bahasa. Kini yang terbaru penangkapan terhadap Sumardi (60). Pria lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN itu dianggap sesat karena masalah siulan.

Siulan yang lazim dilakukan kaum laki-laki memang jadi berbeda di tangan Sumardi. Ia tidak bersiul untuk mengusir ketakutan saat lewat kuburan. Tidak pula bersiul untuk menggoda perempuan cantik yang lewat.

Mengklaim mendapatkan wahyu, Sumardi mengajarkan siulan wajib diimbuhkan dalam salat. Kepada pengikutnya yang jumlahnya mencapai 60 orang, Sumardi mengajarkan pahala satu kali salat bersiul setara dengan ibadah 1.000 bulan.

Haruskah Sumardi cs yang dianggap nyeleneh ditahan? Memang, polisi kini mempunyai alasan yang lebih diplomatis untuk memenjarakan kelompok yang difatwakan sesat. Alasan keren itu kini untuk melindungi sang penyebar ajaran sesat dan pengikutnya dari amukan massa.

Tapi penangkapan itu tentu saja menyisakan pertanyaan. Apa perbuatan pidana yang mereka lakukan? Apakah keyakinan mereka yang berbeda bisa disamakan dengan
kejahatan? Apakah mereka merugikan, misalnya keimanan warga lain?

Indonesia memang bukan Amerika. Tapi harus diakui kemunculan seorang yang atau kelompok, yang memiliki pandangan aneh adalah sesuatu yang alamiah. Kelompok
ini akan selalu muncul dalam sebuah komunitas. Jadi mengadili keyakinan seseorang atau keimanan, adalah sebuah hal sia-sia.

Polisi sebenarnya tidak pantas meributkan apakah orang-orang yang mengaku menerima wahyu itu telah menodai agama atau tidak. Polisi hanya berhak atau bahkan diwajibkan menangkap sang penyebar ajaran aneh, jika mereka mengajak orang melanggar hukum, membahayakan nyawa ataupun keselamatan seseorang. Tapi polisi jelas tidak memiliki urusan untuk menyelidiki kebenaran sebuah keimanan.

Lebih dari itu, orang-orang aneh seperti itu, sebenarnya lebih baik didekati, diajak dialog, atau diajak bertukar pikiran. Siapa tahu orang-orang yang mengaku suci itu sebenarnya hanya orang yang sakit. Karena penderita epilepsi temporer atau epilepsy temporal lobe, menurut Donal B. Calne, adalah orang yang mengalami halusinasi penciuman, penglihatan dan pendengaran.

Halusinasi menyebabkan penderita epilepsi temporer sering mendengar suara-suara yang tak didengar orang lain juga melihat penampakan-penampakan yang hanya dilihatnya sendiri. Dalam buku Batas Nalar, Calne yang adalah profesor neurologi The University of British Colombia itu, menuliskan, seorang penderita epilepsi mengaku melihat pintu surga terbuka dan mendengar Tuhan bersabda.

Tokoh yang secara jujur mengaku menderita epilepsi temporer adalah Karen Amstrong. Dalam buku Menerobos Kegelapan, penulis yang kesohor dengan buku Sejarah Tuhan dan Muhammad itu diketahui menderita epilepsi pada usi 31.

Selain Amstrong, tokoh terkenal yang digolongkan menderita epilepsi tersebut adalah Van Gogh dan Julius Caesar. Bahkan Santa Yoana atau yang dikenal dengan Joan d'Arch juga diduga pengindap penyakit tersebut.

Dr Wolfe, dokter yang memeriksa Amstrong mengatakan, penderita epilepsi temporal lobe adalah orang yang religius. Nah siapa tahu penyakit epilepsi temporer itu juga menyerang para pengklaim penerima wahyu itu. Siapa tahu kan?

* Tulisan ini dimuat di detikcom 18 Januari 2006

Tidak ada komentar: